Kita sedang melawan apa?

Bunga rumput di halaman rumah Pak Moh. Ali (Dok.Pribadi)
"Saya sedang asik sendiri. mendengarkan diri sendiri berdialog dengan angin, dinding dan tandatanya yang berseliweran. jendela saya buka agar udara bebas keluar masuk dan ya itu, berseliweran. meja yang berantakan, dan pekerjaan yang sudah terdaftar. sementara saya abaikan. saya mau seksama memahami pikiran-pikiran yang loncat-loncat. Akhir-akhir ini, saya merasa kesepian juga pada akhirnya."


 Tulisan saya begitu kaku, bacaan? oh, sudah lama tidak membaca dengan fokus. satu buku hampir dua bulan belum selesai. setengahnyapun belum. Lalu pertanyaan seorang teman dalam tulisannya sedikit menohok. dalam. "lalu setelah kebebasan itu kita dapatkan, apa lagi yang akan kita tuliskan?"

Dulu, saya begitu antusias. tuntas menulis setiap hari. tuntas berdiskusi setiap hari. tuntas mengerjakan banyak hal setiap hari. buku? oh, saya selalu berhasil membaca dua buku setiap minggu. saya punya daftar khusus. ibu saya tidak akan membeli buku jika buku yang kemaren belum selesai saya baca. dia akan mengomel panjang. dan tidak akan ada buku baru. saya terdorong. saya malu kalau ketinggalan. saya malu kalau saat diskusi di kelas, Dosen saya bertanya "sudah bcara buku A? " dan saya belum baca. ya saya malu. saat berdiskusi dengan mahasiswa, kalau dia bertanya, "sudah baca buku B? : saya pasti malu, kalau bleum membacanya. hasrat ingin tahu sekaligus ingin pamer begitu menjangkit. dan saya baca sampai tuntas. saya tanyakan semua yang tidak saya tahu, dan tidak lupa, saya selalu merivewnya. menuliskan dengan sepengetahuan apa adanya. tapi saya beranikan saja. komentar banyak sekali, kritikan apa lagi.  Tapi tidak pernah sedikitpun membuat saya surut. tidak pernah.

Saya menulis apa saja. bahkan curahan terdalam perasaan saya. tak apa. itu juga membantu mengolah pikiran agar bersinergi dengan hati.  Di saat  tidak ada ruang, handphone yang apa adanya, online numpang ke warnet, bermodalkan buku catatan dan pena saya bisa menuliskan banyak hal. setiap hari. Saya punya hampir satu kardus buku catatan, termasuk di dalamnya diary cinta masa lalu. lengkap. terkumpul sejak saya duduk di Kelas Sekolah dasar.  Ibu saya rajin membelikan saya agenda. dan saya menuliskannya hingga penuh, dan kembali beli lagi. selalu begitu. jadi tidak heran, kalau saya ingat betul perjalanan saya jadi perempuan dan manusia.  saya mencatatnya. sesekali, mengulang-ngulang membacanya, saya menangis, tertawa dan jijik sendiri melihat proses panjang itu. tapi saya bahagia melewatinya.

Di saat informasi hanya saya dapatkan dari Radio dan TV hitam putih,  serta cerita kancil dan raja-raja dari bapak, saya bisa dengan antusias mendengarkannya. mengembangkannya, menghayal dan membawanya terbang kemana-mana.  lalu dengan bangga, saya ceritakan ulang kepada teman-teman saya. bahwa dulu, sebelum manusia dengan sembarang hidup di mana-mana, kancil dan buaya itu bisa berbincang hangat, juga bisa berkelahi.  

Sekarang, tepat saat saya menuliskan tulisan yang entah apa namanya ini. Setelah saya punya semacam media-media hantu itu, dan mudah mengakses segalanya. saya justru banyak bengongnya.  Sama seperti saya memilki banyak uang dan bingung membelikannya. bukan hanya bingung, tapi juga memang tidak perlu membelinya lagi. Segala sesuatu sudah tersedia, lalu kita kerja apa?

Dulu juga, senior saya meneliti tentang perjalanan lirik lagu Iwan fals sejak tahun 90-an hingga tahun 2000-an. Menurut hasil penelitiannya, ada semacam kesurutan revolusioner yang akhirnya tidak membara. hasil penelitiannya mau bilang, Bahwa pada akhirnya bang Iwan menyerah dengan keadaan. Tapi, saya justru melihatnya dari sisi yang lain. Lawan kita sekarang tidak lagi api, tapi air itu sendiri. begitu kira-kira. Pada point ini, saya justru percaya, pada akhirnya, kita tidak bisa melawan berbagai macam persoalan hanya dengan satu senjata yang itu-itu saja. Lirik yang berubah dari kemerdekaan dan perjuangan hingga akhirnya menjadi lirik Cinta adalah suatu perjalanan nurani. di mana masing-masing manusia harus berpikir sendiri dan kembali pada apa yang paling hakiki. tidak mungkin lirik lagu yang revolusioner lahir dari keadaan yang sepertinya aman-aman dan surut konflik. Tidak mungkin kita mengobarkan api tanpa adanya tirani. Lalu, apa yang salah dari lirik lagu cinta? Hasil karya paling suci lahir dari nurai itu sendiri, dibarengi dengan keluasan kita memandang dan kedalaman kita menilai suatu persoalan. Karya yang luar biasa tidak pernah lahir dari keadaan yang biasa-biasa saja. di sana, pasti ada perang batin, dialog sunyi, dan perjalanan cahaya.

Sekarang, ketika segala macam informasi bisa di sentuh kapan saja, justru segalanya menjadi biasa-biasa saja.  Semua menjadi semacam penawar dan pelepas dahaga, lalu sebentar kita haus lagi.  Sama seperti, ketika kita harus mengumpulkan energi dan semangat  untuk mendaki gunung, dan ketika sudah sampai di puncak, lantas kita mau apa? menikmatinya sesaat, mengingat-ngingat perjalanan, merenunginya dan menuju jalan pulang? Ternyata, segala sesuatu hanyalah tentang kepuasan pribadi. Tidak ada yang benar-benar abadi. selain ingatan-ingatan yang kita rawat sepanjang perjalanan pergi dan kembali.  Lalu, kita akan rencanakan untuk pendakian selanjutnya, semacam candu. tidak akan pernah menemukan apa yang sebenarnya kita mau. Setelah perjalanan panjang, kita hanya butuh jalan pulang.

Hari ini, kita harus sepakati, kita sedang melawan apa? 

#Rumahperteduhan #Ruangtunggu #Ruangpamer   #kamartakbernomor #lorongbaca
#Lampujalan pada kekosongan yang perlu isi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian