PAGI YANG NYINYIR
![]() |
| Sepotong senja di Desa Sumber Lesung. (Dok.Pribadi) |
Sepagi ini, saya membaca banyak sekali komentar ini itu dari media hantu. Komentar-komentar sinis tentang betapa tidak berartinya segala usaha dan niatan tentang apa saja. Mulai dari serial shalat Jumat yang khotbahnya sedangkal mata kaki dan sudah pasti tidak berisi. Padahal ya kalau meluap sampai pinggang takutnya kita susah jalan. Atau kalau udah sampai mulut dan hidung takutnya nggak bisa nafas. Atau kalau udah sampai kepala apa kamu sudah pandai berenang dan menyelam? Atau, memang porsi yang kita harus terima, ya sebegitu dulu.haha
Komentar lain yang masih saja hangat setelah satu tahun bekerja jadi bapak Negara. Semua hal buruk yang terjadi adalah salah Jokowi. Iya. Memang dia yang salah. Masa kamu. Iya kamu. Saya juga nggak mungkin nyalahin diri sendiri kalau masih bisa nyalahin orang. Apa lagi dia namanya ketua selain sumber ide juga sumber segala kesalahan terjadi. Pesan seorang bapak pada suatu pagi, "ya kamu harus kuat fisik dan mental kalau mau jadi ketua. Ketua itu sumber salah dan pelampiasan semua amarah". Boh, lawong jadi Pemimpin redaksi dulu saja setelah begadang sepanjang malam, dan usaha produksi dan distribusi yang tidak sebentar tetap saja ada kritikan. Dan ya itu tadi, komentarnya macam-macam. Dari yang benar-benar patut di kritik secara mendalam sampe persoalan remeh seputar kok warnanya hijau, merah dan bla bla bla. Baru jadi pemimpin ecek-ecek sebuah kelompok yang notabene ruang belajar dan nggak dibayar. Apalagi sekelas Presiden yang sudah mesti mapan dalam segi fisik dan mental. Tahan uji berlipat-lipat. Mesti tahan siksaan dunia dan akhirat. Setiap hari. Setiap waktu. Sepanjang nafas masih bisa teratur keluar masuknya, pak Presiden mesti siap untuk di hujat secara masal.
Pagi ini juga masih seputar #StopAsap . dari yang merasakan langsung dampaknya sampe yang cuma bisa kirim 'semangat qaqa' di media sosial. Asap jadi Agenda nasional sekaligus agenda politik paling halal saat ini. Tapi tetap saja bapak dan ibuku masih megap-megap menahan sesak. Kabarnya, langit sudah menguning. Gumpalan asap yang menyesakkan. Dan ngilu mendengar kabar banyak bayi yang mati. Asap itu persoalan politis. Saya tebak nih ya, hutan nggak bakal padam sampe lahan siap untuk di garap. Lawong tahun lalu juga gitu kok. Kebakaran kok sampe bisa jadi agenda tahunan. (Loh, kok saya ikut-ikutan sinis). Yang salah siapa? yo wes. Aku wes. Tapi tetap saja banyak yang nyinyir. Kemaren seorang laki-laki, sebenarnya sudah berulangkali berdebat hal yang sama, menyuruh saya datang ke Sumatera agar nurani saya terbuka. Hanya karena saya ajak becanda, waktu dia marah-marah dan itu tadi nyinyirin Jokowi di status facebook. Jadi begini ceritanya, saya yang katanya keponakan Jokowi ini (loh. Kok bisa? Iya bisa kalau dia yang ngomong) mulai tidak peka dengan persoalan yang di derita #Sumatera. (Gimana bisa enggak peka, lawong bapak ibu. Kakak. Adik laki-laki paling cakep serta sodara-sodara dan keluarga besar ada di sana. Gimana mungkin saya nggak peka. Tapi. Yo saya iyain aja biar cepet). Jadi sekarang, kalau nggak ikut-ikut kayak orang-orang untuk nulis di kertas #Savesumatera #Melawanasap dan macamnya, termasuk dalam golongan terkutuk. Orang yang bahagia di atas penderitaan orang lain. Orang yang bisa menghirup udara seger dengan bahagia sementara sodaranya menunggu mati karena asap. Opo iyo? Saya justru aneh, itu apa nggak tahu sumber kertas dari mana? Masa iya dari api dan asep? Loh. Masyarakat #Sumatera dan #Palangkaraya loh ya butuh masker dan Vitamin, bukan butuh surat cinta dan harapan kata-kata. Tu kan, saya jadi ikut-ikut nyinyir.
Selain Jumatan dan asepan, saya juga baca status seorang teman. Yang katanya ndak peduli sama Hari Santri yang dirayakan dengan sarungan. Dia lebih pilih memikirkan bagaimana asap sumatera bisa berhenti. Lalu seorang lain bertanya, dan menurut saya, ini telak sekali. "Lalu. Apa yang sudah kau pikirkan untuk asap sumatera?". Terus entah iseng dan menurut saya konyol, dia jawab " saya sedang memikirkan bagaimana cara menghisapnya?". Loh. Kita kok pinter banget sinisin satu hal dan seolah-olah membela yang lain. Padahal, kita sedang menikmati diri sendiri. Bagaimana tidak, dia yang justru lebih dekat dengan lingkungan santri yang sarungan mencoba keluar dan memikirkan persoalan yang katanya jauh lebih penting, sementara pikirannya ketinggalan di sarungnya sendiri. Eh.
Begini, saya kalau lagi tinggal di Sumatera pasti akan berpikir bagaimana caranya mendapat udara segar. Karena saya dekat dengan persoalannya. Saya akan menunda memikirkan anak-anak jalanan Jakarta. Karena Jakarta lumayan jauh dari Sumatera kalau naik kereta dari Palembang ke Lampung dan nyebrang via kapal laut dari pelabuhan merak. Beuuh. Jauh kan. Nah, bagaimana mungkin kita bisa memikirkan persoalan yang jauh tanpa peka persoalan yang paling dekat dengan diri sendiri. Apa salahnya merayakan hari Santri dan sarungan diantara persoalan asap #Sumatera ? Apa kita harus menderita bersama-sama. Seperti janji suci Romeo kepada Juliet atau seperti Jack dan Rose saat detik-detik membeku di Lautan? Oh. Biarlah Santri bahagia dengan sarungnya. Walau tetap saja ada yang nyinyir kalau santri nggak bisa di ukur sama sarungnya. Wes, sama apanyalah berarti?
Sekarang, kalau ndak ikut-ikutan kayak orang-orang dibilang mati rasa. Kayak saya tadi, ditanya nuraninya di mana. Tapi, ya saya cuek saja. Dia mungkin nggak tahu, selain asap di Suamtera, ada tiga mayat setiap minggunya di antar ke Bandara Juanda- Surabaya lewat kargo Inetrnasiona. Kedatangan luar negeri. Perlu di jelasin juga, itu mayat siapa? Begini, menurut data yang ada (cie data cie), Jember itu daerah nomor empat tertinggi yang Masyarakatnya memilih jadi TKI ketimbang ngurusin asap. Dan Jawa Timur itu Provinsi nomor dua setelah NTT yang banyak buruh migrannya. Nah lo. Udah tahu kan itu mayat siapa aja yang tiap minggu datang. Lah, kalau semua orang ngurusin asap, siapa yang ngurusin mereka? Lah. Kalau semua orang ngurusin buruh migran, siapa yang merayakan hari Santri? Kamu pikir menjadikan tanggal 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional cuma tinggal pake surat permohonan? Ndak. Itu pasti lewat proses yang panjang. Biar nggak cuma asep dan mayat buruh migran saja yang jadi bahan perbincangan. Biar sama-sama jadi Agenda Nasional. Jadi nggak apa-apa ya, santri ngerayain lewat sarungan di tengah asap dan mayat yang berseliweran.
Saya justru curiga sama media sosial. Eh. Maksudnya hmmm. Menurut penelitian teman saya yang tempo hari meneliti tentang Twit Warnya Prabowo saat nyapres, bahwa media sosial semacam facebook dan twitter adalah media alternativ paling efektif untuk menggiring opini. Dan stupid user yang pakek Smartphone akan dengan mudah klik LIKE dan SHARE atau RETWEET saat berita seolah-olah jadi headline dan trandingtopic.
Coba cek deh, saat semua beranda lagi ngomongin #MelawanAsap, kamu akan nggak nyaman menuliskan 'sayang, hati-hati di jalan ya'. Kok bisa? Ya bisa, media gitu loh. Karena #MelawanAsap seolah-olah lebih penting ketimbang kekasihmu. Walaupun kita sama sekali ndak tahu apa-apa soal asap. Terus ikut-ikutan nulis #MelawanAsap dengan hati yang was-was. Takut-takut nanti ditanya ndak bisa jawab. Lalu, seiring waktu #Melawanasap akan hilang berganti dengan trandingtopic yang baru. Kita tunggu saja, apa lagi agendanya.
Loh. Saya tadi lagi mau ngomongin orang-orang yang nyinyir. Eh, kok jadi ikut-ikutan nyinyir.dan setelah ini. Pasti giliran saya yang dinyinyirin. Siap-siap uji mental.
Begini, bisa tidak kita mengerjakan apa yang harus kita kerjakan. Dan membiarkan orang lain mengerjakan apa yang ingin ia kerjakan. Tanpa perlu ada kroyokan dan penggiringan. Agar tidak jadi basi lalu mati. Hilang lenyap tanpa jejak. Terus kita ndak ngerjain apa-apa karena sibuk nyinyirin orang. Atau mungkin kita sudah terbiasa melihat persoalan dari sudut yang jeleknya saja. Terbiasa mengkritik. Terbiasa pasif dalam tindakan dan aktif dalam komentar. Terbiasa melihat masalah dari sudut paling putus asa.
Apakah kita pikir, orang diam tidak sedang berpikir. Orang cengar cengir tidak sedang berpikir. Orang yang terlihat konyol tidak sedang berpikir. Orang yang terlihat bodoh tidak sedang berpikir. Bukankah kita sedang menghadapi persoalan yang sama di negara yang sama. Titik menyerah kita pasti ada di ujung tanduk yang sama. Tapi toh kita sama-sama bergerak dan bertahan kan. Sekuat-kuatnya menahan luka. Sekuat-kuatnya menahan amarah. Sekuat-kuatnya menanggung beban. Sekuat-kuatnya menahan itu tadi, nyinyiran.
Oh. Saya (malu) jadi orang Indonesia sudah tidak berlaku lagi Pak Taufik. Karena malu tidak pernah membuahkan hasil apa-apa. Kita harus menanggung malu bersama-sama. Menjadi tangguh dan kembali bernyawa. Mari kerja !
#Rumahperteduhan #Lorongbaca #Kamartakbernomor #Ruangtunggu
#Lampujalan , pada kamar yang masih berantakan

Komentar
Posting Komentar