Review : TRILOGI SOEKRAM, Kepengaranganmu sudah sampai di Bagian yang Mana?

dok.pribadi : Gambar diambil saat launching Novel 'Hujan Bulan Juni', Juni 2015

Hahaha,. . . . .

saya memulainya dengan haha. Itu seperti respon kebingungan saya untuk menangkap apa sebenarnya yang diinginkan seorang Sapardi dalam trilogy pengarang ini. Saya seperti mendapatkan sesuatu yang spesial, penting tapi tidak jelas apa. saya dipaksa untuk meliarkan pikirkan, memberanikan diri, mengarang apa saja. namanya juga karangan. Apa saja. itu perintahnya, paling tidak itu yang saya tangkap. Seorang pengarang harus berani memunculkan tokoh dan karakter yang gila dan aneh sekaligus, sekalipun tidak diterima banyak orang, tapi toh itu hanya karangan. Mungkin pertama-tama memang seperti itu dulu.



Soekram dilahirkan secara sederhana oleh Sapardi. Lewat komputer jadul, dan disimpan di selipan-selipan file yang mulanya tak berarti, dan entah karena apa, Soekram melarikan diri, menemukan dirinya sendiri, dan menyusun ceritanya sendiri, meninggalkan Sapardi, bahkan menebar gossip pada edisi ’Pengarang Belum Mati’ , bahwa pengarang pertama (yang dalam hal ini, saya tangkap adalah Sapardi) sudah mati. Ia tebar gossip itu, agar ia bebas melanjutkan kisahnya sendiri, tanpa pengarang lain. bahkan dengan berani, ia memunculkan tokoh-tokoh baru, kekasih-kekasihnya, istrinya, anaknya dan konflik-konflik diantara kedua, ketiga dan kempat orang diantaranya.



Soekram itu cerdik, dan sedikit plin plan, di akhir cerita, dia ketakutan sendiri atas apa yang dia rancang dan susun. Dan dia sangat ingin menyenangkan dirinya sendiri, dan dia tahu betul bagaimana             caranya. Yang saya pikirkan, apa sebenarnya yang dipikirkan seorang Sapardi, sehingga merelakan tokoh yang ia ciptakan menentukan sendiri nasibnya tanpa ia (Sapardi) ribet memikirkannya.



Pada trilogy pertama ‘Pengarang Sudah Mati’: Konflik yang dihadirkan Sapardi adalah konflik batin antar tokoh, terutama Soekram yang kebingungan menentukan sikap pada perempuan-perempuan yang ia atau Sapardi yang ciptakan. Rosa, ida dan tentu saja istrinya. Ini seperti praktek poligami yang belum dan tinggal menunggu di halalkan lewat ritual agama. Soekram dengan mudah bergaya sok suci dan lugu, saat berhadapan dengan istrinya, dan dalam cerita ini, tentu saja istrinya harus pura-pura tidak tahu dan harus merasa kasihan kalau melihat suaminya, Soekram itu pulang dan kelelahan. Ia harus buru-buru menyiapkan teh, air hangat dan obrolan sapa basa basi untuk menunjukkan bahwa ia (istrinya) tidak mencurigai hubungannya dengan mahasiswinya, Rosa.  Seperti halnya konstruksi yang sudah dibangun masyarakat kita, bahwa  seorang istri yang baik adalah ia yang setia menunggui suaminya pulang kerja, entahpun kerja apa. entahpun apa perangainya di luar sana, entahpun apa yang ia (suami) lakukan di luar sana. Seorang istri yang baik, tentu saja harus siap dengan resiko apapun, pun dengan jawaban kesal suami saat obrolan basa basi dimulai. Harus sabar, harus manut, ya tentu harus terima nasib jadi istri. Sapardi menggambarkannya dengan jelas.



Padahal, istri Soekram, dulunya adalah teman kuliahnya, yang sama pintarnya, yang sama hebatnya, tapi harus kalah dengan konstruksi. Bahwa perempuan pada pertarungan terakhirnya, harus setia menunggui suami pulang kerja. Dan kalau boleh, jangan ikut-ikut kerja.



Pada cerita ‘Pengarang Sudah Mati’ juga, Sapardi membuat pengelompokan dan tingkatan kelas tokoh lewat nama. Dan itu jelas saja bias sekali.  Nama Rosa diberikan pada tokoh mahasiswi, aktivis yang penuh semangat. Yang pada akhirnya, dicintai Soekram pula.  Ida adalah nama yang diberikan Sapardi untuk selingkuhannya, hampir bisa dikatakan istri kedua tak sahnya. Minuk adalah nama istrinya yang paling sah. Dari pemilihan nama, tentu secara sadar dan tidak sadar, kita sepakat, atau anggap saja hanya saya yang sepakat, bahwa tanpa dijelaskanpun, pembaca sudah tahu, bahwa pemberian nama ‘Minuk’ yang entah apa artinya itu seperti nama perempuan tua, istri tua dan sekali-sekali nama asisten rumah tangga. Seperti menjelaskan bahwa seorang istri yang hanya bisanya di rumah, sembarang saja diberi nama. Walau entah dalam bahasa apa, ‘Minuk’ memilki makna yang lebih indah dari apa yang saya tangkap. Tapi maksud saya, disana ada kelas yang sengaja di bangun oleh Sapardi, ataupun Soekram untuk menjelaskan apa itu perempuan. Dan bagi saya, itu sama sekali tidak menyenangkan.



“yang di hadapannya adalah minuk, istrinya. Tetap menatapnya dari seberang meja makan. Anaknya tidur. Anak umur setahun belum bisa bermimpi”



Tidak hanya itu, pada akhirnya, perihal cerita ini adalah jebakan bagi pembaca yang hanya memilki nilai sastra yang masih standar. Di satu sisi, ia begitu terlihat sederhana, bahasa-bahasa sederhana, konflik-konflik sederhana, dan tokoh-tokoh yang sudah tentu sederhana, tapi Sapardi membuat alur yang cukup rumit. Susunan cerita yang cukup memutar otak. Sapardi memaksa pembaca, khususnya saya harus fokus, hapal, dan ingat betul tiap alur yang dia bangun pada tiap-tiap episode. Seperti melompat-lompat, tapi berbenang merah, dan bagi siapa saja yang tidak memperhatikan dengan jelas, tentu akan menganggap bahwa trilogy ini adalah cerita yang konyol.



Satu hal yang membuat saya sangat terkesan adalah, Sapardi berhasil membunuh pengarang dalam cerita ini. iya, pengarag benar-benar mati di bagian ini. bagian dimana pengarang tidak punya pilihan dan ide cerita yang menarik selain kisah seorang dosen pintar, memilki istri yang biasa saja dan satu orang anak laki-laki yang belum bisa bermimpi. lalu selingkuh dengan rekan kerja, dan selingkuh pula dengan mahasiswinya karena intensitas pertemuan yang seringkali teerjadi. Tentu tanpa diketahui dan disadari istrinya. Lalu muncul konflik batin, dan tidak ada pertengkaran anatar Soekram dan Minuk, istrinya. Karena memang tidak ada pilihan di antara keduanya untuk bertengkar. Yang saya pahami, dari bagian ini, entah benar, entah salah, Sapardi berusaha menjelaskan, kematian pengarang dimulai dari ketiadaan ide baru dan berani. Sehingga ia memunculkan cerita yang sungguh standar. Iya, pada bagian ini,Sapardi berhasil membunuh pengarang.

Pada trilogy ke dua, “Pengarang Belum Mati”, Soekram menebar gossip bahwa pengarangnya sudah mati, lalu dengan atas hak pribadi, ia merasa direstui untuk melanjutkan alur cerita, karena ia berhak menuntut pengarang terkait nasibnya dalam sebuah cerita. Begitulah kira-kira. Lalu, pengarang yang lain muncul, dan mengabarkan bahwa pengarang yang menciptakan Soekram itu belum mati. Ia hidup kembali, atau dia memang tidak pernah mati. Hanya Soekram saja yang terlalu berambisi untuk menuliskan ceritanya sendiri.



“tetapi, pertemuan pertama toh sering merupakan ukuran yang bisa dipergunakan untuk menentukan apakah persahabatan perlu diteruskan atau tidak”



Kutipan itu merupakan perjalanan pertama pada cerita kedua ini. dari awal, Soekram sendiri berhak memutuskan kepada siapa dia berteman, kepada siapa dia jatuh cinta, dan kepada siapa dia percaya. Masih bercerita soal romansa pemuda yang galau. Karena konflik yang muncul bukan hanya soal laki-laki dan perempuan, lalu pacaran, lalu menebar kemesraan, lalu marah-marahan, lalu berkelahi dan lalu mengakhiri hubungan. Tidak. Konflik yang dimunculkan Sapardi ataupun Soekram adalah konflik dua orang yang jatuh cinta, tapi ya itu beda keyakinan terkait menyoal urusan ketuhanan. Sempat membuat Soekram tidak terima, bingung, dan kacau, tapi toh. Ia percaya keberadaan Tuhan.walau sejak kecil, ia tidak pernah diajari shalat, berdoapun tidak.



“Tetapi, jauh di sebuah sudut terpencil di hatinya ia percaya bahwa Tuhan, atau entah apa pun namanya, ada”



Pada bagian ini, Sapardi menggambarkan bagaimana indahnya bersama dalam keberbedaan. Soekram di beri teman dari Bali, dan mereka bisa akur. Hingga pada akhirnya, jatuh cinta pada Maria, perempuan Katolik. Sudah bisa tebak lah kan bagaimaa rumitnya perjalanan cinta mereka. Dan sudah pasti, tanpa restu.



“ Ucapkan terimakasih kepada jalan, meskipun tidak akan pernah membawamu ke suatu tujuan yang jelas. Ia menengok ke kiri-kanan. Lengang”



Pada bagian ini, Sapardi berhasil menghidupi pengarang lagi. ia munculkan konflik yang seringkali muncul di masyarakat tapi sulit untuk dibahas dan dibicarakan. Keberagaman. Sapardi menghidupkan kembali persoalan-persoalan remeh temeh namun penting. Saya melihat bahwa cara menghidupi pengarang adalah peka terhadap urusan-urusan sederhana, mampu menjelaskan atau memungkinkan member gambaran dan solusi terbaik, yang mesti dilakukan. Sapardi mencoba menghidupi pengarang dengan member ide-ide baru, tapi masih dalam tahap kesadaran. Tahap persoalan sosial, tahap konflik kebatinan antara manusia dan tuhan yang entah dimana. Sapardi menghidupi pengarang dengan masuk pada ruang-ruang privat, yang memungkinkan untuk kita otak atik lagi, atau kita perdebatkan lagi, atau kita sepakati. Dan pada bagian ini, Pengarang hidup kembali dengan gagasan sederhana dan tentu saja baru.



Pada trilogy ke tiga “ Pengarang Tak Pernah Mati” , saya menangkap bahwa pada bagian ini, Sapardi membuktikan bahwa kekuasaan terbesar pada sebuah karya sastra ada pada pengarangnya, bukan pada keadaan, bukan pada tokoh, bukan pula pada apa yang sudah tertanam di masyarakat. Sapardi menunjukkan kekuasaan penuhnya, bahwa apapun bisa kau ceritakan, selama itu murni dari kesadaranmu, murni dari hatimu, murni dari pengetahuanmu.



Ceritanya terlihat konyol, dan asal-asalan, bagaimana mungkin seorang tokoh yang diciptakan mampu menjalani karakter dan alur sesuai kemauannya, bukan apa maunya pengarang. Bahkan, pertanyaan konyol muncul setelah membacanya, “Apakah, kita tidak pernah bertanya atau paling tidak memikirkan apakah tokoh yang kita ciptakan menyenangi perannya?” atau “Mungkinkah sebenarnya, sebagai pengarang kita begitu egois, sehingga kita cenderung menuliskan apa yang menyenangkan menurut kita? apa yang kita sukai? Apa yang tidak bertentangan dengan masyarakat? Atau bagaimana alur ini berjalan aman dan lancar, tanpa ada yang bertanya, sebenarnya ini cerita apa?”



Sampai disini, saya bisa merasakan kekuatan Sapardi, ia dengan berani merubah-rubah cerita sejarah. Ini yang sering kita lupakan, bahwa legenda adalah legenda, siapa yang berhak atasnya? Selain pengarang itu sendiri. Dan kita tidak perlu menuhankan alur cerita dan penokohan, sehingga harus berjalan sesuai apa yang sudah lebih dahulu diceritakan. Seperti halnya, Kartini, Siti Nurbaya, Datuk Meringgih, Samsul, dan Hanafi. Tokoh-tokoh tersebut di aduk-aduk oleh Soekram, sesuka hatinya, tanpa peduli apa nanti komentar masyarakat yang sudah menganggap cerita tersebut adalah cerita sejarah. Yang kebenarannya juga masih dalam tanda tanya sebenarnya. Lagi-lagi, kekuasaan terbesar sebuah cerita ada pada pengarang. Paling tidak, itulah yang saya tangkap dari cerita ke tiga trilogy Soekram. Pada bagian mana kepengaranganmu sekarang tinggal?



Dan pada akhirnya, seberapa hebatpun tokoh yang kau ciptakan, seberapa tangguh dan beraninyapun peran yang dia mainkan, pengarang tetap berkuasa membuat dia sengsara, ketakutan, dan ya kehilangan.  “Soekram sudah pulang ke masa depan”

#RumahPerteduhan #LorongBaca #RuangTunggu 
#LampuJalan , Setelah selesai membaca tuntas buku ini :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian