Bahwa 'Mampir' di tempat ini Bukanlah Sembarang Mampir.
Bahkan, hingga memasuki delapan belas hari hidup di Ledokombo, saya masih bertanya-tanya, mengapa saya sampai di sini. adalah suatu kemungkinan, jika ini pernah ada dalam rencana. tapi seingat saya, tidak pernah sama sekali. bahkan menyebut namanya saja saya tidak pernah. jangankan menyebut, saya masih sangat asing dan tidak pernah berhasrat untuk lari ke tempat ini. tapi toh, saya benar-benar ada di sini. sudah lebih dari dua minggu, dan tidak ada satu haripun yang saya lewati dengan gerutu. saya menikmatinya sebagai sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah selesai. Saya menikmatinya hingga di detik ini.
Pun, hingga hari ini, saat gemuruh Raung mulai terdengar sepanjang hari. tanda tidak aman dan sudah pasti sangat bahaya. Saya justru tidak khawatir, walau saya masih bingung, mengapa saya ada di sini. Suaranya begitu jelas, menggelisahkan. Tidak siapapun yang bisa menebak, apa yang akan terjadi ke depan. mengapa saya begitu berani untuk mati konyol di tempat ini. tapi, tidak sedikitpun hati bergesar untuk berpindah sementara ataupun untuk selamanya. Bukankah, setiap hal yang terjadi adalah rencana, disenagaja ataupun tidak sama sekali.
Ledokombo adalah desa yang cukup jauh dari perkotaan. tapi, toh tidak ada yang buruk dari sebuah perkampungan kan? karena kota juga tidak pernah benar-benar menawarkan kebahagiaan. iya, untuk orang kota semacam saya, hijrah ke sini bukan tidak memiliki alasan. pertama, sepertinya beberapa bulan terakhir, Jakarta benar-benar membuat saya terlihat seperti orang linglung. saya harus menghabiskan banyak waktu sendirian, dan yang paling pasti, saya tidak pernah benar-benar bisa menikmati meditasi, di ruang kamar yang terkunci sekalipun. juga tidak memberi saya jaminan kesehatan terlebih kebahagiaan. Karena pada suatu masa, ada waktu di mana kita harus benar-benar menikmati sepanjang hari dengan bahagia. dan Jakarta tidak pernah bersedia memberikannya.
Alasan lain adalah, ya kesehatan saya terganggu. Polusi dan aroma tidak sedap yang bermunculan dari kiri kanan jalan membuat paling tidak, paru-paru saya sulit menghirup udara, dan jantung saya sulit memompanya. saya harus memakai masker setiap saat, kapanpun di manapun. terlebih, saya tidak menemukan ruang ataupun kesempatan, di mana saya bisa berteriak sekencang-kencangnya ketika ingin memuntahkan alam bawah sadar saya, berupa pikiran yang ingin menemukan alurnya sendiri. saya tidak menemukannya.
Lalu, kesempatan membawa saya terbang jauh ke ujung Jawa. pada sebuah perjalanan. saya menamainya 'mampir'. karena perjalanan menawarkan banyak hal untuk sampai pada tujuan yang sebenar-benarnya. Bertemulah saya dengan orang-orang yang biasa-biasa saja. suatu kali, saya pernah mengangkuhkan diri, "ngapain kamu ke sini?' pertanyaan untuk diri sendiri. Tapi, hati tetaplah hati. tempat paling suci yang tidak bisa dijamah apapun dan siapapun. ia dengan setia memberi saya kemungkinan-kemungkinan untuk memantaskan diri dan membuka selebar-lebarnya mata. bahwa biasa-biasa adalah cara hidup yang paling sederhana, untuk mengimbangi isi kepala mereka yang luar biasa.
Saya bertemu malaikat, ibu yang menjadi hati untuk rumah ini. Bertemu seorang Doktor, yang menurut beberapa orang yang saya temui, dia adalah laki-laki yang hebat dan luar biasa. "Saya nggak canggung mbak, soalnya kayak sama, walau beliau doktor. jadi yang cuma tamat SMP berasa nyaman aja". Lalu ah, beberapa orang pasti iri, saya bertemu tukang ukir, tukang gambar, tukang jahit menjahit, tukang design sekaligus pada satu sosok Bapak muda. Diam-diam saja, banyak orang pasti tidak percaya kalau dia adalah salah satu lulusan terbaik ISI Jogja. tapi ya itu, semua terlihat biasa-biasa saja. Ada lagi, perempuan Jogja yang campur aduk sumatera, sejauh ini, dia juga bingung sebenarnya dia asli mana, perempuan yang menghimpun hampir seluruh ibu-ibu di Ledokombo hingga menjadi pengrajin seperti saat ini. lalu, ada dua orang manusia, yang setia dengan anak-anak dan ibu-ibu yang ada di dalamnya. dan masih banyak lagi. semuanya biasa biasa saja, sungguh.
Selain itu, saya bertemu dengan orang-orang biasa, anak-anak yang biasa, dengan semua hal yang mereka bisa. menari, bermusik dan kesemuanya adalah karya bersama. tidak ada yang lebih hebat dan lebih mengerti. Semuanya berkesempatan menjadi guru. Sejauh ini, saya baru percaya, bahwa biasa-biasa saja adalah cara hidup paling sederhana.
Malam ini saya cukup meyakinkan diri, bahwa 'mampir' di tempat ini bukanlah sembarang mampir. Ini berupa mozaik yang menghantarkan pada perjalanan selanjutnya, yang entah kapan. 'mampir' kali ini adalah sebuah awalan paling sederhana, untuk menuntaskan apa yang bergejolak di pikiran. bahwa segala sesuatu haruslah menemukan tujuan. dan segala sesuatu haruslah berdasarkan alasan. Lalu saya percaya, salah satu tujuan saya ada di tempat ini, alasannya sederhana, bukankah di sini, hasrat menulis lebih tinggi ketimbang di kamar sendiri.
Diam-diam, beberapa hari saya habiskan sendiri di ruang kerja. bukan karena apa-apa. ternyata. saya memiliki banyak waktu untuk memantaskan diri. bermeditasi dengan suara air dari kolam. dan hawa dingin yang sesekali membuat gigil, dan tidak lupa, rasa cemas saya di uji dari gemuruh raung dan abu yang kembali bertebaran di angkasa, lalu saya bersembunyi pada hati sendiri. karena kemungkinan sangat tidak bisa terdefinisi. Pada tahap ini, saya seperti berhasil menemukan sepotong lagi kesempatan untuk menikmati hidup yang tidak pernah bisa tahu sampai kapan.
#Rumahperteduhan #Ruangtunggu #Lorongbaca #Kamartakbernomor
#Lampujalan , Pada kaki Raung yang mendebarkan
Komentar
Posting Komentar