'Rama dan Sinta' : dari Sisa-sisa Perjalanan

Pun tidak sengaja, saat ku pamerkan mainan yang ku dapatkan di pintu keluar candi Borobudur pada mas Topo (laki-laki yang bekerja di rumah kreatif #Tanocraft ). seorang ibu tua, menawarkannya dengan wajah iba dan penuh harap sekali beberapa minggu yang lalu. saya tidak pernah cukup mengenal perwayangan, tapi saya suka. Ibu itu menawarkan 'Rama dan Sinta' ini padaku dengan harga yang sebenarnya cukup murah, Rp 90.000,- , tapi dengan cukup tega, ku tawar menjadi Rp 40.000,-. ya. bukan karena tidak menghargai kreatifitas, waktu itu saya plesiran dengan modal pas-pasan. dan wayang kayu ini sepertinya berjodoh dengan saya, dengan harga yang saya tawarkan. harapan saya terakhir saat wayang ini dipertukarkan dengan rupiah adalah semoga ibu itu bahagia, walau harga yang sebenarnya tidak sesuai harapannya.  Waktu itu saya merasa berdosa sekali, karena sudah tega membawanya pulang dengan harga yang mati-matian. yang membuat rasa bersalah saya perlahan meredam adalah semakin kita berjalan menuju ke luar Candi, harga-harga barang kerajinan semakin murah. Pun dengan harga wayang yang serupa, ada yang menjualnya dengan hanya Rp 10.000,- hingga Rp 15.000,- perbijinya. Sampai di sini saya lega. ternyata, saya tidak begitu kurang ajar ingin menunaikan hasrat konsumtif dengan modal cekak. yang saya pikir waktu itu, paling tidak, si mbah dapat untung dari si 'Rama dan Sinta'.

Mas Topo, Seorang sarjana Seni, lulusan ISI Jogjakarta, yang bergelut di ruang-ruang kreatifitas yang sudah cukup lama, waktu itu kurang percaya, saat ku pamerkan wayang ini. dan sebetulnya saya tidak pernah bermaksud untuk benar-benar memamerkannya. Saya hanya mempertimbangkan harga. Saya sadar, saya mendapatkannya cukup murah. "Saya disuruh ngerjain begituan di bayar Rp 20.000,- perbiji ndak mau mbak" kalimat itu terlontar begitu saja. Saya ingat betul, raut kecewanya. dipandanginya wayang ini lama. tapi tidak cukup kuat untuk mengomentarinya. menurut saya, ini adalah adegan paling syahdu. saya tahu apa yang dipikirkannya. bukan soal bentuk ataupun bagaimana saya mendapatkannya. tapi soal persaingan harga yang tidak sehat. di sana ( halaman candi Borobudur, pun demikian dengan jalur keluar Candi Prambanan) semua barang-barang kerajinan tangan dihargai murah. Sangat murah sekali. sudah tidak ada harganya. tidak ada biaya untuk tenaga dan berpikir, hanya hitungan materil saja (bahan yang digunakan saat pembuatan barang), jadi wajar saja, di sana, banyak seniman, pengrajin yang nggak makan. 

Kurang lebih sepuluh hari yang lalu, saya berkunjung ke daerah 'Istimewa' Jogjakarta dengan rencana berkeliling dan menghabiskan sisa libur. Hingga berjodoh dengan 'Rama dan Sinta' ini. Saya ingat betul, bagaimana semua orang yang berjualan kerajinan tangan bersaing dengan penjual lainnya menarik perhatian pengunjung dengan harga-harga yang sangat tidak sebanding jika kita lihat dari nilai pembuatannya. 

Tapi sangat kontras sekali, jika kita sudah melanjutkan plesiran ke Jl. Malioboro. Di sana, semua penjual tidak begitu peduli, apakah pembeli serius membelinya ataupun tidak. Padahal harga yang ditawarkan bisa dua kali lipat ataupun tiga kali lipat dari harga yang dijual mbah-mbah di halaman dan pintu keluar Candi. Mereka cukup tahu, bahwa keuntungan mereka sudah lebih dari cukup, dibanding dengan harga modal yang sangat sangat murah itu. 

Sampai saat saya memamerkan 'Rama dan Sinta' ini pada Mas Topo, barulah saya sadar, betapa negara ini sangat tidak paham bagaimana mengapresiasi kesenian, bagaimana memberi tepuk tangan pada pementasan, bagaimana mengakomodir harga-harga jual barang kerajinan, dan Daerah Istimewa itu sangat tidak pandai merancang bagaimanan masa depan tukang ukir, tukang kayu, tukang jahit, tukang gambar, tukang batik, dan penukang-penukang yang lainnya.

Nanti, kalau kau dipertemukan dengan mbah-mbah yang menawarkan barang yang sama, jika kantongmu tak begitu cukup untuk membeli, jangan begitu tega untuk menawarnya tanpa harga. Siapa tahu, ada orang lain yang lebih manusiawi membelinya dengan penuh cinta.

Selamat Malam Ledokombo yang remang, sampai di sini, saya masih berupaya mengingat-ngingat semua kenangan, perjalanan, dan bagaimana akhirnya Tuhan menghantarkan saya ke sini. Semoga saya berbahagia :)

#Lampujalan #Rumahperteduhan #Lorongbaca #Kamartakbenomor #Ruangtunggu
Ledokombo yang semakin dingin , 18.36 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Dialog Murid dan Guru (Lama yang Baru Tiba)

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang