Menjemput Kemerdekaan dan Arwah
![]() |
Dijemput Senja Sidoardjo (dok. pribadi) |
Pada sebuah kesempatan, terkadang hidup hanyalah menyoal penantian untuk melaju pada kematian-kematian secara bergiliran. ternyata, hembusan nafas dan detakan jantung tidak pernah benar-benar kita tahu kapan berhentinya.
Saya ingat, tiga tahun yang lalu, saya merayakan pesta kemerdekaan Republik Indonesia di Puncak Bogor dalam sebuah pertemuan mahasiswa Nasional. dan waktu itu kami sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan cinta. Tahun berikutnya, saya merayakan upacara bendera bersama seluruh masyarakat Trans talang donok dan sahabat-sahabat yang bertemu dalam perjalanan selama dua bulan menikmati masa-masa penempatan Kuliah Kerja Nyata, waktu itu kami berpesta dengan nasi tumpeng dengan segala rasa. ibu-ibu menamainya tumpeng kemerdekaan, dan sudah pasti memasaknya juga dengan cinta. Tahun lalu, saya bersama orang-orang sunyi lainnya merayakan Kemerdekaan dalam ruang kosong. Hanya ada diri sendiri dan harapan-harapan yang tidak bisa sampai dengan cepat. Saya ingat, beberapa di antara kami memilih berdiam, tanpa puisi, tanpa kritik, tanpa api, dan sumbu yang menyala-nyala. kami bermeditasi dengan diri sendiri dan Tuhan secara langsung. kami lihat Soekarno, Hatta, Syahrir menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mengobarkan entah.
Tertanggal 17 Agustus, semua orang merayakannya dengan caranya sendiri. Ada yang diam-diam mengutuk, ke gunung, berlayar, menjelajah hutan, dan berkomentar sana sini lewat media sosial. sampai-sampai, kemaren teman saya mencanangkan sebagai 'Hari Kritik nasional, bukan hari kemerdekaan'. kok kita selalu lupa bahwa negara ini soal satu kesatuan yang tidak bisa terpisah dari kebaikan dan keburukan.
dan tahun ini, bagi saya pribadi, hari ulang tahun Negara adalah bagaimana seorang suami ingin sekali istrinya dikebumikan di tanah air tercinta. dengan seberat apapun perjuangan, seribet apapun urusan birokrasi sana sini, selelah apapun tenaga, dan sesayu apapun matanya yang selalu nanar. berharap pada entah kapan, istri bisa disentuh dengan utuh, lalu dihantar ke liang dengan doa dan juga cinta.
Kenyataan selalu menuntut lebih. air mata yang lebih. luka yang lebih, kesesakan yang lebih, ketakutan yang lebih. kegelisahan yang lebih. tapi toh, kematian selalu datang tepat waktu, ditunggu ataupun tidak sama sekali. Upacara kemerdekaan kali ini, menghantarkan tiap-tiap orang yang saya temui ke sunyinya sunyi. Angin menembus belulang, menjadikannya gigil tak terperi. kali ini, saya berasa dekat sekali dengan mati. Saya hanya bisa menyebut-nyebut Tuhan sesekali, dan tiba-tiba ingin mati di taman mawar milik sendiri. Lalu ada orang-orang baik yang setia mengirim doa dan juga cinta. lalu saya pergi dengan damai. dan waktu itu, rasanya Tuhan dekat sekali.
Satu hal yang saya ingat, bahwa tidak ada jaminan keselamatan dimanapun. yang terdengar malam itu hanya isakan yang membuat ngilu. Air mata saya meretas dan bersebab. Saya tahu, saya tidak menangis waktu itu. tapi, hati tidak pernah mau di uji. Tidak pernah benar-benar tangguh untuk menahan betapa terlukanya semua orang yang ada di situ.
Di perjalanan pulang, saya ingat betul, kami menyanyikan lagu Indonesia Pusaka dengan sungguh-sungguh. pada lirik 'Sampai Akhir menutup mata', seorang suami menggigil tiba-tiba. Ia sebut-sebut Tuhan tanpa henti. ia tahu, malam itu adalah malam pertama sekaligus malam terakhir di tahun ini, ia melihat wajah istri. jauh di kenangan-kenangan yang pernah mereka lewati berdua, ada sebab musabab yang mengharuskan ia untuk mengiklaskan istri bekerja jauh sekali dari tatapan matanya. tapi ia percaya, doa selalu mendekatkan mereka. dan benar saja, walau waktu itu adalah sebuah perjalanan hidup dan mati, toh cinta tetap lah cinta. ia menjemput istrinya dengan setia.
Jauh di tatapan matanya yang sayu, pasti ada masa depan yang pernah mereka rencanakan. Walau sekarang, yang tersisa hanyalah kenangan-kenangan dan tubuh yang kaku. sekuat apapun ia meneriaki, toh tak pernah ada jawab, tak pernah ada tatap, tak pernah ada anggukan ataupun gelengan. lalu ia pilih untuk berdiskusi dengan dirinya sendiri. Dengan tangguh, ia hadapi kematian istri. Ia hadapi Tuhan dengan berani, dan mengiba. Segala sesal. sesak dan keakuan ia kubur sedalam-dalamnya luka. Lalu ia pilih berdiam, untuk sejenak menenangkan diri.
Lalu, jauh dari ibu kota, jauh dari negara tempat istri bekerja, jauh dari orang-orang yang juga harusnya bertanggungjawab atas luka-lukanya, bahkan ribuan mil jaraknya. Saya ikut mengutuk juga. Kemanusiaan adalah yang paling hakiki dari sebuah perjalanan panjang kehidupan. tapi selalu ada ular di Eden, di antara Adam dan Hawa, di antara Putri tidur dan pangeran, iya, Pada luka yang masih basah, ada pula orang dengan congaknya menikung-nikung untuk mengambil kesempatan pada situasi sulit yang sedang dihadapi suami sitri itu. Ada yang dengan tanpa malu meneror, mempersulit, memperlama, dan sudah pasti melukai. tapi, toh istrinya sampai juga.
dan pada malam ulang tahun negara. Mereka bertemu, ia menyebut Tuhan sepanjang perjalanan, membawa peti mati istri, dan terus menahan luka untuk sampai di rumah mereka berdua. ia tahu betul, anak-anaknya dan orang-orang yang juga mencintai istrinya sudah menunggu dengan setia.
Tertanggal 17 Agustus 2015, saya catat. saya ingat. saya simpan di kedalaman pikiran, bahwa hidup adalah ruang tunggu. Masing-masing orang sedang menunggu matinya sendiri-sendiri. dan berjalan sendiri, tanpa perlu apa-apa, hanya apakah kita berani? toh mayat sang istri juga sendiri di dalam peti, melewati jarak yang tak terhingga untuk sampai pada pelukan suami, yang sudah pasti kaku.
Halo Indonesia, hari ini, saya menjemput kemerdekaanmu, juga arwah yang sudah damai. Sepasang suami istri itu akhirnya bertemu dalam udara yang lain. Semoga setiap orang yang bertemu dan tahu bahwa hari ini ulang tahunmu,mengerti dengan bijaksana, bahwa PR kita masih terlalu banyak, yang harus dikerjakan secara bersama-sama.
#Ruangtunggu #Rumahperteduhan #Lorongbaca #Kamartakbernomor
#Lampujalan dijemput senja Sidoardjo :)
Komentar
Posting Komentar