Kampanye 16 HAKTP: Setiap Hari adalah Harapan
25 November 2015
Hai Nak. Saya tahu kalian begitu semangat dan berbahagia. Walau malam
begitu jahat untuk kalian. Walau lingkungan tidak begitu bisa dipercaya
sepenuhnya. Nak. Saya tahu betul, kalau malam ini adalah malam
harapan. Malam di mana negara ingin hadir. Mungkin sebenar-benarnya
hadir. Untuk melindungi, menjaga dan memelihara.
![]() | ||
Foto sebelum tampil menari dan menyanyi di depan pak Menteri Hanif (Dok.Pribadi) |
Nak. Malam ini
yang paling membahagiakan adalah, wajah lelah kalian, pura-pura
dibahagiakan. Dan itu sama sekali tidak kelihatan pura-pura. Nak, hari ini menteri Hanif datang. Saya tidak tahu, apakah dia tahu
kalau hari ini adalah hari pertama Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan. Keriuhan, menunggu, dan harapan-harapan yang kita gantungkan pada Negara.
Selalu bahagia ya
![]() |
Langsung minta foto saat obrolan harus diselesaikan (Dok.Pribadi) |
Saat membahagiakan, justru saat bertemu perempuan ini. Beliau
memanggil saya dengan sedikit berteriak. Memastikan kalau itu
benar-benar saya atau tidak. Dan jelas saya agak kaget. Perempuan ini mengingat nama saya, dan jadilah dialog yang padat walau sebentar.
Mbak Desty. Beberapa bulan lalu, saya bertemu dengan beliau. Belajar
strategi planning, membaca persoalan sosial dan bagaimana cara
menggerakkan dan menghidupi kerelawanan. Belajar banyak. Dan kali ini bertemu lagi. Di ruang yang lain. Dikesibukan yang lain.
Tapi sepertinya dekat sekali. Rasanya seperti, bumi memang berputar
disitu-situ saja.
Waktu
yang singkat, obrolan yang hangat dan betapa sibuknya tiga hari ini,
seperti memberikan tanda bahwa semangat harus tetap dibakar. Tidak boleh
lelah. Tidak boleh jengah. Tidak boleh main-main. Merawatnya sampai abadi. Abadi dikemudian hari. Oh. Ini Hari Ke dua Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan.
Jumat, 27 November 2015
Ibu dan wawa. 13 tahun bekerja di Hongkong. Meninggalkan anak, suami dan masyarakat untuk menghidupi orang-orang yang ditinggalkan. Pilihannya sulit sekali. Bertahan tanpa harapan atau pergi meninggalkan harapan-harapan itu sendiri.
![]() |
Ibu mengajak main wawa karena menangis saat pertemuan BMI di Tanoker Ledokombo (Dok.Pribadi) |
oh, ini hari ke tiga, Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Semoga tidak ada lagi yang pergi karena tidak ada alasan untuk bertahan.
Sabtu, 28 November 2015
Faik. Perempuan Ledokombo yang mendedikasikan dirinya menjadi pengrajin. Ia piawai sekali menjahit mainan lucu dari kain planel, kain perca atau apa saja yang bisa dimanfaatkan untuk kerajinan. Foto ini diambil Seminggu yang lalu, saat berkunjung ke rumahnya. Sebenarnya numpang berteduh karena hujan begitu deras. Dan jadilah perbincangan hangat. Sambil ngobrol, tangannya tidak henti menjahit sesuatu. Ia membuat huruf dari kain planel yang diisi dakron (kapas, yang biasanya dijadikan isi boneka). Faiq setia mengisi hari-harinya dengan sesuatu yang berguna tanpa lelah. Tak secuilpun dari waktu yang ia biarkan berlalu. Harus menjadi sesuatu.
![]() |
Faiq dan guntingan harapan yang ia sematkan untuk kepulangan Ayahnya (Dok.Pribadi) |
Mimpi terbesarnya amat sederhana, bagaimana caranya seorang ayah bisa kembali dengan segera. Telah setahun lebih ayahnya tidak pulang. Harapan demi harapan ia jahitkan pada kain-kain yang menjadi teman setia. Penantian tidak selalu berbuah manis. Tapi, ia tak henti berharap. Tidak pernah sama sekali.
Dua hari yang lalu, ia memberanikan diri berbicara dengan pak Menteri Ketenagakerjaan, M. Hanif Dhakiri. Tangannya sedikit gemetar, semalamam sebelum bertemu pak menteri ia siapkan dengan matang apa yang ingin ia sampaikan. Lalu kesempatan datang tepat waktu. Ia sampaikan apa yang mengganjal di hatinya. Tentang betapa kayanya Ledokombo, tapi tidak ada tempat untuk masyarakat bekerja dan bertahan. Betapa menyedihkannya menjadi seorang anak yang berkebutuhan kusus sekaligus anak buruh migran. Lukanya berlipat-lipat. Tapi satu yang paling menguatkan malam itu, Faiq setia bertahan di Ledokombo. Untuk menghidupi dirinya sendiri dan masyarakat. Menjadi pengrajin tanpa lelah.
Lalu, Pak Hanif yang juga anak seorang buruh migran itu memberinya harapan. Menitipkan doa-doa dan mimpi. Bahwa tidak pernah ada yang tidak mungkin. Perbincangan kamipun henti berbarengan dengan hujan dan jahitannya. Dia menjahit huruf R= Renata.
Oh. Ini hari ke empat Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan
![]() |
Bermain bakiak sembari menunggu tamu yang tak kunjung datang (Dok.Pribadi) |
Dari Ledokombo, saya mencoba mengingat apakah bahagia itu benar-benar sederhana atau tidak. Sesederhana gigil yang menerobos ke kulit, dan masuk ke pori-pori lalu menusuk-nusuk belulang. Saya bertemu banyak sekali jawaban. Banyak sekali kemungkinan. Banyak sekali kenyataan dan juga kemustahilan.
Sesederhana bermain bakiak, kita hanya perlu satu suara menyerukan kiri dan kanan, lalu saat jatuh, kita tertawa bersama. Tidak menyalahkan siapa-siapa. Berdiri lagi, menyatukan langkah yang gontai, menyerukan kiri dan kanan hingga sampai pada kemungkinan-kemungkinan. Ada raut-raut yang bahagia menahan sakit. Karena gigil dan bahagia memang datang bergandengan.
Ini hari ke lima Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Harapan pagi ini, tentu agar anak laki-laki Ledokombo bisa berlaku adil sejak dalam pikiran. Tumbuh menjadi manusia yang beradab dan tentu penuh cinta.
Komentar
Posting Komentar