Sebuah cerita dan tanda tanya tanda tanya
![]() |
Burung-burung kertas pada sebuah warung kopi di Kalisat |
Waktu menunjukkan jam 05.09 WIB, saya terbangun. Seperti biasa. Sebenarnya sudah menjadi kewajiban. Biasanya, saya berdoa sejenak dan membaca ayat-ayat pada kitab perjanjian. Lalu melanjutkan apa saja yang tertunda. Menyibukkan diri. Menyempatkan untuk melakukan macam-macam kerjaan. Mengetik. Membaca. Membereskan rak-rak. Menyapu. Atau apalah yabg terlihat menyibukkan. Biar dibilang manusia. Tapi, akhir-akhir ini. Saya bangun tetap jam 05.00 WIB tapi menemukan diri sendiri terbaring malas. Malas menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak bisa diduga-duga. Malas menghadapi pertanyaan dan pernyataan yang sebenarnya itu-itu saja. Malas menghadapi urusan-urusan negara yang semakin lama semakin tak tahu apa akar persoalannya. Malas menghadapi gosip-gosip. Malas menghadapi tanya jawab pemilukada yang akan berlangsung sebentar lagi. Malas menghadapi curiga-curiga. Malas menghadapi media-media yang benar salahnya tidak ada yang tanggungjawabi. Malas menghadapi udara yang akhir-akhir ini menjadi lebih gigil dari biasanya. Yang lebih pasti, malas menghadapi rindu seorang diri.
Saya baru tahu, bahwa setiap hari itu-itu saja yang saya hadapi. Tidak ada yang lain. Tidak ada yang baru. Orang-orang harus berlomba dengan imajinya untuk membuat segala sesuatu terlihat lebih lain dari biasanya. Walau sebenarnya, sama saja. Hanya terlihat lebih lain.
Lalu, beberapa hari ini, pagi saya habiskan dengan tidur-tiduran. Mengotak atik handphone, membaca apa saya yang tertempel di dinding, di langit-langit, di lantai kamar, di pintu. Di jendela yang tidak bisa lagi di buka. Dan di rak-rak buku. Agar terlihat beda. Agar terlihat lain. Padahal, apa saja yang saya lakukan hanya semacam kebiasaan dan kesia-siaan.
Lalu, saat matahari mulai naik ke langit. Saya berbicara pada diri sendiri. Tentang anjing-anjing di rumah yang kata ibuku sudah mati di racun orang dari pemerintahan. Tentang kebun mawar yang semakin banyak batang dan bunganya. Tentang makam-makam tua. Tentang anak-anak yang perlu dicintai. Tentang rumah kayu. Tentang lampu-lampu jalan. Tentang taman bacaan. Tentang sepersepuluh dari kenyataan adalah kebahagiaan yang dipaksakan. Tentang sepersepuluh dari kenyataan adalah kepahitan itu sendiri. Tentang sepersepuluh dari kenyataan adalah mimpi-mimpi. Adalah kebahagiaan. Adalah kehilangan. Adalah perjuangan-perjuangan. Adalah kegagalan. Adalah bahaya. Adalah kegetiran. Adalah niatan. adalah apa saja yang harus dipersiapkan.
Setelah ini, kenyataan-kenyataan lain akan berkeliaran. Bermunculan secara dadakan. Tersebar sampai ke sudut-sudut kamar dan pikiran. Dan semuanya tidak pernah ada di dalam rencana-rencana.
Semalam, saya menghabiskan waktu bersama beberapa teman. Walau saya tahu, Sapardi dan Tuhan tidak pernah sama. Terutama tentang keabadian waktu dan akhir Zaman. Keduanya saling bertentangan. Main tusuk-tusukan. Semacam pertaruhan yang melibatkan kejiwaan, keadaan dan teks-teks peradaban yang juga belum tahu kebenaran dan keberadaannya. Ia semacam pencarian sampai ke relung-relung. Bahwa apa yang paling abadi masih tanda tanya. Ia menyelusup ke pori-pori. Meresap ke belulang dan menjadi nyeri. Apa lagi yang paling abadi?
Seorang di antara teman bertanya dan mungkin penasaran tentang apa yang ada di dalam pikiran saya. Soal perempuan. Soal manusia. Soal gerakan. Soal feminis. Soal gender. Soal apapun yang bisa mengundang diskusi panas dalam sebuah perbincangan. Tapi, saya biarkan saja mengambang. Menjadi penasaran-penasaran lain. Karena bagi saya, tidak boleh ada yang dipaksakan. Bahkan diskusi bukan untuk memaksakan. Juga bukan untuk menyepakati. Itu semacam ideologis pribadi. Yang disepakati ataupun tidak harus dijalani. Semacam perspektif yang tidak perlu dilurus-luruskan. Ataupun dibelok-belokkan. Saya sepakat untuk menjadikannya sebagai acuan gerakan. Acuan pikiran. Acuan tindak-tindak. Sebagai jalan untuk bergerak ke kanan ke kiri ke tindakan-tindakan.
Saya bukan Simon, bukan Nawal, bukan juga Jill LeBihan. Saya adalah apa yang saya lakukan dan kerjakan. Mereka membantu banyak dalam pengertian, dalam cara, dalam berpikir dalam mengerjakan. Bahwa bagi saya, Feminis adalah cara saya memandang dan mengerjakan. Menjadikan saya merdeka atas diri saya sendiri. Merdeka dari kepentingan-kepentingan. Atas intervensi-intervensi lingkungan. Atas kepentingan manusia-manusia lain. Ia membiarkan saya merdeka dalam berpikir.
Menjadi feminis bukan bagaimana menjadi kuat dan keren. Bukan. Sama sekali bukan. Perlawanan hadir bukan karena kelahiran feminis. Ia sudah jauh sebelum itu. Feminis justru lahir dari apa yang sebenarnya tidak bisa lagi dipertahankan. Tidak bisa lagi diterima. Tidak bisa lagi bisa menerima betapa tidak adilnya dunia terhadap manusia satu dengan manusia lain. Ia lahir dari sebuah usaha yang seoalah-olah sia-sia. Lalu dikemudian hari, kenyataan-kenyataan lain terbuka. Bahwa kejahatan kemanusiaan terhadap manusia yang satu semakin tidak karu-karuan.
Lalu perlawanan dimulai. Gerakan perempuan yang ditentang banyak orang bahkan perempuan itu sendiri dimulai. Perang dimulai. Perdebatan dimulai. Bantah membantah dimulai. Cibir mencibir dimulai.
Perempuan dan perempuan berkelahi. Perempuan dan laki-laki berjarak jauh. Laki-laki dan laki-laki dipecah-pecah. Semua terbagi-bagi. Ada yang setuju, ada yang mencibir, banyak yang mengutuk, banyak yang melawan. Ada yang tidak bersuara, ada yang diam-diam saja di sudut. Ada yabg membuka wacana di forum. Ada yang berdiskusi di angkringan. Ada yang berdebat di media hantu. Ada yang berbicara pada dirinya sendiri. Ada juga yang bergosip.
Ada yang langsung menolak tanpa mengerti, ada yang setuju tanpa mengerti, ada yang tidak mau menjawab sama sekali karena (seperti) bukan urusannya. Ada yang diam-diam berdiskusi dengan dirinya sendiri. Apakah semua hal itu salah? Tidak. Tidak boleh ada yang dipersalahkan.
Hanya soal bagaimana saya memandang, bukan? Ada yang ekstreme, ada yang pasif, aktif juga ada yang masa bodo.
Lalu, saya marah ? Tidak. Tidak apa. Karena kita punya idiom yang lahir dari apa yang kita baca, dengar dan sering saksikan. Hal itu yang membentuk pola imaji, pola rasa, dan bagaimana otak bekerja.
Saya masih pura-pura malas di tempat tidur. Sepenggal doa saya sematkan untuk kelancaran apasaja yang sedang saya kerjakan. Juga tulisan. Juga puisi. Juga doa-doa yang mulai hilang energinya. Bukan karena kehabisan kata dan rasa tapi akhir-akhir ini saya keasyikan berpikir tanpa membaca. Semoga tidak mati dalam pikiran sendiri.
Komentar
Posting Komentar