Betapa Abadinya Patah Hati

"Jangan pernah membuat patah hati seorang penulis, karena kau akan abadi dalam karyanya"-Anonim

Asyik sendiri bersama Louisa
Tiba-tiba Retno mengucapkan quote yang dibacanya dari sesuatu. Menatap saya dengan serius lalu tertawa terbahak-bahak.

"Waktu membacanya, aku langsung ingat kau. Grace. Grace" katanya masih tertawa, lalu meneguk mocca.

"Sudah berapa orang yang kau abadikan?" tanyanya masih bermonolog.

Saya tahu, dia tidak perlu respon dan jawaban. Saya paham betul, dia hanya butuh saya tertawa untuk menertawakan keabadian-keabadian yang saya simpan sedalam-dalamnya ingatan pada orang-orang yang membuat saya patah hati dan yang saya patah hatikan.

Dia memang salah satu perempuan yang mengikuti perjalanan pencatatan keabadian saya. Dan dia tahu betul siapa saja laki-laki yang berhasil mengabadikan diri pada tulisan saya.

Lalu, kami menghabiskan malam dan minuman dengan mengobrol soal bagaimana pada akhirnya nanti, kami  siap untuk menikah dan menggariskan sisa perjalanan pada laki-laki yang(sebenarnya) tidak kami kenal sama sekali. Bagaimana memperbincangkan buku, anak kecil dan hutan-hutan yang harus terjaga sampai tua. Demi umur panjang untuk selalu bersama.

Rasa-rasanya cepat sekali. Seperti baru kemaren meninggalkan rumah dan seseorang. Siap untuk bersekolah di alam, di hutan, di gunung-gunung, di pertokoan, di pasar, di jalan-jalan, di gang-gang sempit Jakarta dan di suatu rumah yang ramah. Lalu malam ini, entah karena sepi yang sunyi, entah karena malam yang terlalu berprasangka, entah karena orang yang lalu lalang dan anak-anak yang asyik sendiri di landgrown tepat di belakang kursi saya atau entah karena rindu yang ngilu.

Sementara di kepala, seribu pertanyaan berseliweran. Bagaimana, pada akhirnya tuan dan nyonya memutuskan untuk bersama dalam keabadian-keabadian. Tidak asyik sendiri dalam kebingungan. Bagaimana pada akhirnya, nyonya memutuskan untuk mengiyakan apa yang sebenarnya yang menjadi ketakutan. Setelah berbelasan tahun bersama, dua manusia sepakat untuk saling jodoh. Setelah puluhan tahun menghilang, lalu berjumpa lagi, dua manusia berprasangka pada Tuhan, dan memutuskan untuk berjodoh dalam satu malam. Lalu ada orang yang selalu bersama, minum kopi secangkir berdua, tapi berharap jodonya adalah dewa.

Lalu saya terbang rendah sampai langit-langit rumah makan cepat saji yang tadi kami duduki. Apakah pada akhirnya, pertemuan dan kehilangan adalah sesuatu yang terencana. Karena tidak mungkin kebetulan. Tidak mungkin. Atau kita juga bisa menciptakan kebetulan?

Lalu, semuanya menjelma menjadi biasa-biasa saja. Mengingat siapapun tidak. Mengingat apapun tidak. Hanya mengingat tulisan-tulisan yang menjadi awan-awan yang mendung, lalu hujan, lalu pelangi, lalu matahari lalu semuanya menjelma jadi apa saja yang tidak terduga.

Sudah sejauh ini. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian