Hanya Tentang Penerimaan, Bukan Tentang Perang yang Membuat Alien Bersenang­senang.

Pintu tembok belakang Kantor Kalyanamitra (Dok.Pribadi)



Saya adalah perempuan, remaja akhir yang sedang (dan saya pikir semua perempuan di remaja akhir juga pasti mengalaminya) bingung menentukan banyak sekali pilihan. Dan baru kembali bertanya setelah beberapa lama sibuk berdiskusi dengan angin, malam dan pengapnya ruang-ruang hampa. Saya sering kewalahan ketika banyak orang memperdebatkan apa yang seharusnya dikenakan untuk sekedar berbelanja, pesta, atau mengirim paket ke kantor pos. Saya kadang tidak habis pikir, bagaimana mungkin saya menghabiskan banyak waktu hanya untuk mencocok-cocokkan. Walau pada akhirnya, ada suatu waktu dan pada kesempatan yang tidak terelakkan, saya harus melakukannya juga. 

Kebebasan berekspresi lewat pakaian yang saya kenakan sering kali jadi perdebatan bagi banyak orang. Sampai pada suatu waktu, ibu saya baru menyadari, selain beberapa gaun untuk ibadah ke gereja, yang tersisa di lemari pakaian hanyalah sederet kaos oblong beraneka ragam warna dan gambar, serta celana jeans dan beberapa rok dengan motif yang lucu sebenarnya, tapi beberapa orang bilang itu norak, walau menurut saya itu vintage mode.

Komentar banyak orang macam-macam, dari yang lucu sampai yang menjijikkan sekalipun. Saya (beberapa perempuan lain mungkin juga mengalaminya) dibatasi dengan kalau warna kulitmu gelap, jangan pakai yang warna terang, atau karena kebetulan rambut saya ikal, coba di roll agar lengkungannya lebih tertata. Banyak orang kalau saya bilang, saya gak pernah ke salon malah gak percaya. Katanya rambut saya bagus, ikalan gelombangnya ke bawah, jadi tidak kribo. Dan cantik untuk digerai ataupun diikat gulung (yang saya pikir waktu itu adalah, apakah yang bagus memang harus hasil salon ya?). Mau percaya atau tidak, beberapa teman pernah menawarkan untuk meluruskan rambutku secara gratis. Saya cuma bisa cengir. Alasan saya waktu itu Cuma bercanda, “saya gak mau yang lurus-lurus aja.haha.” 

Seorang teman yang memang doyan sekali ke salon, selalu menjebak saya dengan langkah pertamanya minta ditemani ke salon. Lanjut meng-imingi saya dengan salon gratis, pura-puranya karena tidak mau saya menunggu lama, jadi lebih baik salon bersama. Saya tahu niat baiknya menginginkan saya tampil lebih baik, lebih rapi dan pastinya lebih cantik. Apakah hidup ini sudah benar-benar menjadi arena pertarungan?, “yang jelek dilarang masuk”. Untung tidak ada yang (atau belum ada) nulis, ‘Yang Kriting dilarang sekolah” kalau sudah ada, saya iklas untuk rebonding. Saya tidak ambil pusing terhadap apapun, bukan karena apa-apa, lebih kepada bahwa saya mensyukuri dengan penuh apa yang saya miliki. Rambut ikal, keriwil, hidung pesek (yang pasti sakit kalo dimancung-macungin), tinggi yang gak seberapa, berat badan yang (nah kalau ini sedikit masalah, saya terlalu kurus di beberapa waktu) cukup. Kulit sawo matang, Indonesia sekali ya.

Baju kaos, jeans, sepatu kets, adalah seragam wajib yang saya kenakan, selama berkuliah, paling tidak dari semester 1-5. Bukan karena apa-apa, saya nyaman saja mengenakannya. Bukan juga karena tradisi mahasiswa jurnalistik yang patokan wartawan keren ya begitu itu, bukan. Karena saya memang nyaman dan praktis saja. Terlebih harga yang terjangkau. Setiap hari bisa gonta ganti warna, tanpa ribet. Itu jadi alasan yang paling pas. Dan pernah saat sedang sibuk dengan skripsi, atau karena ibu saya akhirnya membelikan beberapa kemeja yang lucu, saya kenakan kemeja waktu bimbingan skripsi. Bukan juga untuk membuktikan bahwa saat itu saya adalah mahasiswa tingkat akhir, yang gak mempan lagi sama modal keren. Harus rapi. Bukan. Semata-mata karena fasenya memang berubah dan bosan muncul begitu saja. 

Dosen saya pernah berkomentar begini “ berubah jugo akhirnyo, sekarang Grace lah be-kemeja terus tiap ngadap sayo.” (berubah juga akhirnya, sekarang Grace sudah pake kemeja terus, setiap menghadap saya) katanya kepada dosen muda yang kebetulan ada di ruangannya. Saya cuma cengir dan mikir, mungkinkah selama ini mereka terganggu dengan kaos oblong dan sepatu dan celana dan ransel dan apalah yang saya kenakan? Atau itu sebentuk perhatian atau mungkin juga karena memang dunia ini sudah mengatur bahwa anak perempuan itu gak baik pake kaos-kaos oblong, gak rapi, gak cantik. Apa iya saya pake gaun ke kampus? Saya sih pede-pede saja. saya selalu mengenakan pakaian yang saya suka. Ada yang bilang norak, tapi banyak juga yang memuji atas pilihan saya. Karena tidak banyak orang yang mau berbeda. Di beberapa saat saya kenakan pakaian-pakaian era 70an, vintage sekali. Lucu. Pada kesempatan lain, saya kenakan rok bunga-bunga, baju dengan leher oval polos, tas coklat sandang, dan sepatu polos. Bukan karena saya mau mix adn mach tapi karena saya mau menggunakan itu. seorang teman selalu setia untuk mengambil gambar dan publikasi di media sosial setiap saya memasuki kampus, saya biasa saja. Dia suka, tapi karena dia mengenakan jilbab yang aturannya sudah dari sananya, urunglah niatnya untuk mengenakan hal yang sama. Bukan karena apa-apa. 

Sekali dalam hidup, saya pernah bertanya “Kenapa memang, kalau kau berbeda?” Waktu itu hujan cukup deras, tapi saya harus ke kampus, saya kenakan celana jeans, sepatu kets, kaos, jaket yang lumayan tebal, syal warna cream buatan kakakku dan payung transparan berenda hijau dan tentu saja ransel (bisa bayangkan?). Sampai di kampus, saya berjalan di antara guyuran hujan dan lalu lalang kendaraan serta pejalan kaki lainnya. Waktu itu saya benar-benar terlihat berbeda dan mungkin aneh sekali. Tapi saya melangkahkan kaki dengan berani sekali. Dan saya pede saja. saya sudah terlanjur cuek dengan komentar sana sini orang lain. saya cengir saja sendirian. Berbeda dan saya memang tidak suka sama, apa lagi disama-samakan. Apalagi dipaksa sama. Kalaupun berbeda, biarlah demikian. 

Bagaimanapun, berbeda membuat semua orang bisa merdeka tanpa perlu takut untuk tidak diterima, karena memang dari sananya tidak sama. Negara ini memang sudah berbeda kan? Bahkan sejak zaman batu, zaman Adam dan Hawa, zaman Zeus, zaman Yesus, bahkan zaman-zaman setelahnya. Kenapa kita harus sama? Apakah tujuan dan akhir dari kehidupan ini adalah menjadikan semua sama? Apakah menjadikan semua satu itu sama dengan menjadikan semua sama? Apakah Tuhan memang menginginkan kita semua menjadi sama? Bukankah hidup benar-benar paradoks dalam hal ini. Pada mulanya, Tuhan menciptakan semuanya berbeda dan nanti di akhir kehidupan, ingin semua terlihat sama, lalu manusia dibebankan tugas untuk menyamakan semua hal yang berbeda sejak zaman permulaan dunia ini dijadikan. Apa lagi beda manusia dan Tuhan? Semacam konsisten menuju inkonsisten. Atau mungkin, itu hanya keinginan manusia saja? Apakah manusia memang ingin jadi Tuhan? Ada tujuan-tujuan tersembunyi yang membuat kita selalu perang urat syaraf untuk memahami dan menterjemahkannya. Saya tidak percaya, kalau Tuhan menginginkan kita menjadi sama. Karena Tuhan yang Maha design terbukti saat Dia berhasil menciptakan keberagaman. Bahwa yang kembar identik sekalipun punya perbedaan. Lalu kenapa sekarang manusia fokus pada misi besar untuk menyama-nyamakan? dan memaksa sama? Bukankah sesuatu yang dipaksa itu sifatnya tidak lagi alami. Dan sesuatu yang tidak alami, berarti bukan atas kesadaran penciptaan, bukan atas rencana semula. Karena sesuatu yang alami, tentulah tidak perlu ada proses ke dua, ke tiga setelah dicipta.

Pertengahan tahun lalu, Mahkamah Konstitusi juga menolak permohonan pernikahan beda agama. Alasannya sederhana, memang begitu sederhana. Karena agama tidak mengizinkannya. Lalu, siapa sebenarnya yang mencipatakan cinta di antara manusia? Apakah juga agama? Lalu yang ingin sekali menikah dengan pasangan yang sudah pasti berbeda agama, salah satunya dipaksa untuk memilih ikut agama siapa. Lalu muncul perang keluarga, perang agama, perang salib dan perang badar. Pasangan diberi keringanan, yang sudah pasti bukan pilihan, jika tidak ingin pindah ke agama yang satu, ya jangan menikah dengan pasangan yang itu. lalu, keduanya hanya bisa saling menatap tajam, menatap masa depan, menatap Tuhan.

Apa yang benar-benar diingini oleh sejumlah orang tentang cita-cita untuk menyamakan? Ataupun untuk menyatukan? Baik keduanya, tetap saja tidak ada rumus yang bisa membuktikan bahwa hasil akhirnya adalah perdamaian. Yang paling pasti, hanya satu, bahwa yang berbeda akan tetap berbeda. Baik setelah dipaksa pun. Bagaimana mungkin, saya yang sejak lahir dikaruniai rambut kriting, tiba-tiba harus lurus, karena hampir semua orang terlihat cantik dengan rambut lurus. pertanyaan saya satu, apakah Tuhan yang Maha design itu tidak pintar mencocokkan bentuk hidung, bentuk rambut, dan bentuk mata? Bukankah Dia adalah Maha? Bagaimana mungkin Dia kurang pintar dalam menentukan warna, bentuk dan ukuran, bagaimana mungkin? Apakah Tuhan yang Maha design itu kurang jeli dan teliti, saat menempelkan hidung pesek kepada saya, sehingga saya harus mengoreksinya dengan alat pemancung sederhana? Bukankah jalan satu-satunya adalah menerima dengan bijaksana? Dan dengan ucapan syukur tentunya. Lalu memeliharanya. Lalu mengaguminya. Lalu manusia dengan sembrono mengumbar alat-alat kecantikan untuk memperpanjang, memperbesar, memperkurus, memperlurus, memperputih, dan sudah muncul pula lagi memperkriting. Dan lagi-lagi, saya harus terima, bahwa korban pertama adalah saya. Yang perempuan ini. jadi, setelah urusan agama, sekarang urusan perempuan sudah bisa dilihat-lihat di buklet kecantikan. Dan yang saya pikirkan hanya satu, Tuhan berhasil dikalahkan. dan itu hanya muncul dari ketidakterimaan manusia.

Lalu, pilihan saya bulat sejak awal, saya menerima dengan sadar. Apapun perbedaan yang muncul. Yang akhir-akhir ini menjadi perang salib, menjadi perang badar, menjadi perang suku, menjadi perang golongan-golongan, dan menjadi perang perebutan pasangan di antara perempuan.
Satu yang saya sadari, di luar angkasa sana, para alien sedang tertawa terbahak-bahak melihat manusia. Mereka punya pintu ajaib, mesin waktu, memori masa lalu dan masa depan yang mereka buat dari hasil sejarah peradaban serta perbedaan manusia yang sudah mereka simpan sejak awal. Mungkin sejak kita mulai berdebat soal apakah kiamat akan turun dua kali, tiga kali atau tidak pernah ada? sementara kita menciptakan banyak tuhan tanpa penciptaan.
Halo Senin, Halo Indonesia, Halo kamu :)

#RumahPerteduhan #LorongBaca #KamarTakBernomor #Lampujalan
Independent Women. Sedang belajar dan piknik di Komunitas Belajar Tanoker Ledokombo- Jawa Timur. Jatuh cinta berulang-ulang pada senja dan puisi. Sedang fokus pada isu Buruh Migran, anak dan perempuan. Bisa dijumpai di lampujalan27.blogspot.co.id / IG : Lampujalan / Twitter : @Grasia_Lingga

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian