“kau tidak bertanggungjawab untuk membuat dia percaya”
Malam ini begitu gigil, saya tidak tahu apa yang
sebenarnya sedang saya pikirkan, yang pasti ada rasa ngilu di sela-sela
belulang dan semakin lama, semakin nyeri. Saya sedang memikirkan satu hal,
seberapa jauh saya berani menghadapi tanda tanya- tanda tanya yang lebih sering
muncul akhir-akhir ini. Ini seperti berdebat dengan diri sendiri, yang berujung
pada sakit kepala, tidak ada jalan keluar yang cukup melegakan. Seperti
berkejaran sendirian, tidak ada yang benar-benar ingin dikejar, tapi harus
sampai. Sejauh ini, saya belum bisa menentukan sendiri, apa hal yang membuat
saya bahagia. Apa hal yang membuat saya harus berjuang lebih keras, atau karena
saya pelupa, lalu gejolak yang muncul sering tak menentu kemudian menjadi biasa
setelah hampir mati menahan niat yang menggebu-gebu. Saya tahu, saya tidak
boleh seperti ini, saya tahu dalam hal ini, saya harus menentukan sendiri apa
hal terbaik yang harus saya raih, dan tidak boleh berhenti sampai disitu saja,
saya juga harus merancang bagaimana memiliki kebun mawar, memiliki rumah baca,
memilki kamera yang bagus,dan tentu saja memiliki kebahagiaan batin yang
stabil.
Saya sudah mencoba realistis memandang hidup, tapi,
saya seperti tidak punya dendam untuk apapun. Bagi saya, dendam adalah alasan
terkuat untuk mencapai apa yang hati kita mau. Tapi, saya tidak pernah
memilikinya, itu bisa jadi alasan paling kuat. Kenapa hari ini saya justru
memilih untuk menulis tanpa perlu menekan diri sendiri berpikir lebih keras.
Ini sesuatu yang tidak bisa saya kendalikan sampai hari ini. semua orang sudah
pergi menuju tujuannya. Saya masih saja mengeluhkan apa-apa yang sebenarnya
tidak penting lagi untuk diperdebatkan. Semua orang sudah menemukan kendaraan
tercepat untuk sampai pada kemauan, tapi saya masih duduk di ruangan ini,
mengingat apa yang pernah saya pikirkan. Kenapa akhirnya setelah sampai disni, saya justru tidak bisa
berharap lebih banyak. Apakah Tuhan cukup egois menimbang-nimbang kemana saya
harus pergi, kemana saya harus melangkahkan kaki, dan di mana tempat yang cukup
baik untuk saya tinggal. Apakah Dia cukup egois? Saya tidak marah pada apapun
yang terjadi, bahkan pada hal-hal buruk yang menimpa saya dan orang-orang yang
saya sayangi, saya juga tidak marah tehadap kenyataan-kenyataan pahit yang
sudah sering saya nikmati, tapi toh, hidup ini harus terus bergerak walau memang
tidak pernah ada yang baik di dalamnya. Saya harus memikirkan, banyak hal
sekaligus.
Sepertinya memang harus ke hutan dan laut. Berteriak
sekuat-kuatnya, dan menangis sekencang-kencangnya. Tapi saya tidak cukup
cengeng untuk itu. walaupun saya pernah melakukannya. Hidup yang tandatanya ini
tidak pernah mau membagi jawaban, kita harus berjuang untuk menemukan atau
boleh jadi bertanya ulang. Tapi, hidup tidak akan pernah mau dengan cuma-cuma memberi
jawaban. Dan saya cukup egois untuk tidak memilih menjawab apa lagi bertanya. Buku, pena, catatan-catatan, telepon genggam,
dan dompet yang berisi recehan saya biarkan berserakan di lantai. Saya
lewat-lewati saja, biarlah mereka berserakan. Tidak ada yang benar-benar bisa
menjelaskan kenapa saya harus merapikannya dan meletakkanya di tempat
sebaiknya. Walaupun sebenarnya bukan tidak ada alasan, saya saja yang ingin
memandang mereka bergantian, lebih lama, siapa tahu mereka bisa jadi sebuah
ide, mimpi, apalagi kenyataan yang harus saya tulisi.
Kali ini, saya benar-benar tidak bisa berdebat,
benar-benar tidak bisa bertanya, benar-benar tidak bisa bersoal dengan apa saja
yang saya temukan. Walau dulu saya begitu nyinyir. Tapi, hari ini, dan beberapa
bulan belakangan ini, saya seperti dikendalikan oleh sebuah musabab yang saya
sendiri tidak tahu apa. seperti mencoba menahan segala sesuatu, bahkan menahan
tanya. Iya, saya tidak lagi suka bertanya. Padahal, bertanya adalah modal utama
jurnalis. Mungkin, karena saya suka diragukan untuk menjadi seorang jurnalis,
yah karena saya perempuan. Sebenarnya saya tidak putus asa, tapi kesempatan, dan
hal-hal bodoh di luar itu membuat saya selalu harus berpikir ulang, walau tidak
pernah terbersit sama sekali, untuk mengganti mimpi. Bahkan disebuah wawancara,
saya pernah digiring untuk tidak memilih pekerjaan domestik,seperti duduk
cantik di ruangan, mengetik semua laporan, beberapa orang percaya, pekerjaan
seperti itu tidak baik untuk kesehatan pikiran saya. Lalu saya bersemangat
lagi, bahwa sepertinya saya tidak boleh mengganti mimpi. Walau sampai hari ini,
saya belum menemukan tempat berteduh yang menjanjikan. Saya tidak perlu janji
manis, saya hanya perlu dipercaya untuk menulis apa saja. iya, apa saja. Tuhan
memang maha iseng, untuk beberapa kesempatan, saya selalu disuruh berpikir
ulang tepat dihari untuk memutuskan. Tapi, saya selalu bahagia saat berhasil
menentukan keputusan di detik-detik terakhir.
Lalu semua berlalu begitu saja. saya kembali dengan
harapan, dengan kesempatan yang lain. perempuan, dan kemanusiaan tidak bisa
lepas begitu jauh dari setiap pikiran dan keinginan. Saya sudah coba. Sebisa
mungkin untuk tidak memikirkannya sebentar saja, tapi belum bisa. Saya selalu
digiring oleh kenyataan-kenyataan yang hadir di hadapan saya. Nanti pada suatu
hari, saya akan lebih berani, menghadapi semua tandatanya yang bermunculan.
Tanpa perlu memperbincangkannya ulang. Saya harus menemukan apa yang saya mau
dan butuhkan sejauh ini. lalu, wajah-wajah mereka bermunculan satu persatu.
Berteriak-teriak, tertawa, menangis, ngilu, tersenyum haru, iba, angkuh, dan
ada yang terbahak-bahak. Banyak sekali. Saya tidak mungkin mendatangi mereka
satu persatu. Memberikan alasan yang harus realistis untuk mereka mengerti.
Tidak mungkin. Saya sudah berjanji untuk tidak perlu meyakinkan orang lain,
untuk percaya pada kata-kata saya, bahkan saya juga tidak harus
bertanggungjawab untuk menjelaskan dan menjawab pertanyaan simpang siur yang
hadir. Karena hidup juga membiarkan saya menjawab sendiri pertanyaan yang
muncul, dia juga tidak begitu peduli apakah saya ragu, tidak percaya. Dan saya
putuskan untuk tidak peduli dengan apapun yang orang lain pertanyakan bahkan
ragukan. Saya suka menjawabnya lewat kenyataan, lewat tulisan, lewat doa, lewat
puisi-puisi yang bermunculan. Saya tidak bertanggungjawab untuk meyakinkan
siapapun. Karena bagaimanapun juga, saya sudah belajar untuk selalu jujur pada
diri sendiri, bahkan tidak menyontek dengan alasan apapun. Lalu, kalau muncul
ragu-ragu dari siapa saja, biarkan itu menjadi urusannya. Dan saya ingatkan
pada diri saya sendiri. “kau tidak
bertanggungjawab untuk membuat dia percaya”
Seribu kata pertama saya selesaikan, saya mau
menulis untuk mengingat-ngingat dan merunutkan apa sebenarnya yang saya
inginkan, dan di akhirnya nanti, saya bisa tahu, bagaimana harusnya merumuskan
satu persoalan panjang untuk dikemukakan dengan berani. Tidak lagi dengan
puisi, tapi lewat aksi berani. Semoga hari ini melegakan dan menyenangkan. Saya
sering lupa diri kalau sedang berterus terang. Selamat bertarung lagi.
berbahagialah untuk apapun.
#Lampujalan, 21/06/2015
Komentar
Posting Komentar