Review Panel IV: "Televisi Orde Baru dan keluarga Indonesianya"
"Kontrol televisi oleh negara memudahkan negara dengan leluasa mengkampanyekan imajinasinya tentang Indonesia sebagai sebuah keluarga. Politik ekonomi televisi di masa Orde Baru awal hingga akhir memang berada di tangan negara. Hal ini perlahan-lahan berubah hingga kini sepenuhnya berada di tangan konglomerasi media" -Indoprogress
Masa Orde Baru adalah masa dimana media sama sekali tidak memiliki independensi, baik dalam bentuk, isi maupun capaian program, dan bahkan pada struktural. dan itu berlaku hingga sekarang. Kita seperti memperoleh 'warisan' yang sebenarnya bisa kita tolak. tapi, siapa yang pernah dan mau menolak 'warisan'? Orde baru membangun kekuasaannya lewat segala lini. Semacam pendekatan sosial dengan teori komunikasi massa, menggunakan muatan-muatan agamis dan cita-cita bangsa tentang kesejahteraan nasional. Secara serentak, Masyarakat seperti memperoleh pencerahan dari sang Liyang. Berlaku baik, memiliki cita-cita, dan outputnyaa sudah jelas, jadi bangsa yang taat. tanpa perlu bertanya, tapa perlu curiga, tanpa perlu pertimbangan-pertimbangan. Tanpa perlu berpikir panjang, apa lagi berpikir keras dan kritis. semua dibangun atas nama kecintaan pada negara, sementara dibaliknya sudah tentu atas cita-cita besar keluarga untuk menguasai Indonesia. dan Berhasil.
yang perlu kita catat, adalah, Jendral itu berhasil. Baik dalam membangun konstruksi masyarakat, penguasaan lahan-lahan politik, penguasaan aset-aset negara dan yang paling harus dicatat, Jendral itu berhasil membangun medianya sendiri, tanpa perlu dicurigai.
Kita tidak boleh linglung dalam hal ini, jendral itu berhasil menguasai media yang pada akhirnya nanti, berhasil menguasai segalanya. dia tahu, satu-satunya langkah paling konkrit adalah dengan penguasaan media. karena lewat media, masyarakat yang waktu itu sedang dahaga informasi, mampu menggiring siapapun tanpa sadar, ke idiologi-idiologi yang dia bangun, seperti yang disampaikan Inayah Rakhmani, yaitu Mobilitas, kenyamanan dan keamanan. itu poin pentingnya. apa lagi yang dikejar oleh manusia sampai saat ini, kalau tidak ketiga hal tersebut, dan jendral itu berhasil. lagi-lagi, harus dicatat dengan baik, bahwa dia sudah berhasil merumuskan tiga pencapaian penting manusia, sebelum hari ini kita sadar dan memperdebatkannya.
Holy Rafika mencatat, bahwa iklan layanan masyarakat seperti KB (Keluarga Berencana) mampu dengan serentak ditelan masyarakat yang saat itu hanya mengerti, bahwa dengan KB, masyarakat bisa lebih fokus memenuhi kebutuhan keluarga inti (Ayah, ibu dan dua orang anak yang lucu). masyarakat tidak pernah sadar, bahwa negara sebenarnya (harus) bertanggungjawab atas kesejahteraan bangsanya. padahal sebenarnya, KB bertujuan untuk mengontrol populasi, mengontrol masyarakat, dan pasti, mengontrol anggaran negara. Kalau itu berhasil (dan sudah pasti berhasil) bebas lah tugas negara.
Tapi, sepertinya jendral itu lupa, bahwa penggunaan alat-alat KB sebenarnya tidak ada hubungannya dengan intensitas aktivitas seksual, karena toh hubungan seksual adalah kebutuhan manusiawi yang tidak bisa di atur-atur. tapi, lagi-lagi dia berhasil membuat masyarakat ketakutakn kalau nanti tidak akan bisa hidup sejahtera kalau punya banyak anak. padahal, di beberapa daerah di nusantara mengilhami, bahwa banyak anak banyak rezeki. dan dibagian ini, saya melihat, bahwa jenderal itu sudah hampir berusaha jadi tuhan.
dari iklan-iklan yang menyangkut KB, kita harus sepakat bahwa yang jadi korban pertama dan akan menjadi korban selanjutnya adalah perempuan. karena bagaimanapun, di negara ini, dan di banyak negara lagi, 'perempuan itu semacam komoditas paling halal untuk diperdagangkan dan difungsikan', karena jika merujuk pada substansi penggunaan alat-alat KB, itu semacam kontrol birahi perempuan. dan pil-pil, suntikan dan kesemuanya yang pada waktu itu sudah pasti menyakitkan. tapi toh, dia berhasil mengurangi populasi dengan persentasi yang sebenarnya tidak begitu terlihat perbedaan angkanya.
hal
yang sama juga disampaikan Ignatius Haryanto, bahwa lagi-lagi, KB
adalah proyek negara, yang pada akhirnya diwajibkan dan diharuskan, dan
korban ya seperti biasa adalah perempuan.
Tidak hanya lewat KB, jendral itu memanfaatkan kepatriarkian negara ini dengan membangun banyak hal. semacam konsep ibu yang lemah lembut, dan setia menunggui suami pulang kerja. maka lahirlah ibu-ibu PKK, bayangkara, dan arisan-arisan. dan nasib terbaik waktu itu sepertinya 'mati muda' saja.
Media menggiring masyarakat secara 'masif. terstruktur dan sistematis' , walau tahun lalu, kita bisa dengar sendiri, Jendral yang satunya lagi menuduh balik masyarakat melakukan hal ini. padahal, sebenarnya dia sudah tahu, tiga hal tersebut adalah cara mematikan yang paling tidak menyakitkan. karena Jendral itu berhasil, bahkan tidak ada yang tahu (atau pura-pura tidak tahu) bahwa rancangan kenegaraan yang dia bangun tidak pernah menimbulkan perdebatan, karena kan negara 'selalu' baik-baik saja. baru setelahnya, setelah beberapa tahun kemudian, setelah beberapa media baru bermunculan, setelah orang-orang muda melawan, setelah masyarakat disadarkan, setelah informasi-informasi dibagikan, baru kita semua kewalahan. Jendral itu sedang membangun surga untuk keluarganya, sekaligus membangun neraka untuk bangsa, wajar kalau hari ini kita kepanasan. mungkin sebentar lagi akan terbakar.
Dulu sekali, waktu negara dikuasai Orde Baru, dimana para seniman, wartawan dan perempuan-perempuan di bungkam dan ditelanjangi, kita tidak sadar, bahwa itu adalah kejahatan. Media selalu mengabarkan bahwa negara ini baik-baik saja. seperti sampel yang ditawarkan Ignatius Haryanto, bagaimana "Dunia dalam Berita" selalu menawarkan semeraut dan kekacauan yang terjadi di negara-negara lain, sementara Indonesia sendiri, ya baik-baik saja, dengan berita-berita pembangunan dimana-mana. dan masyarakat akan sangat bahagia, punya pembanding. Saat mau protes juga pasti mikir-mikir, 'lawong negara ini pasti masih lebih baik dari negara lain', yang saya catat adalah, jendral itu mengajarkan masyarakat arti bersyukur, dan disitu dia sudah berhasil jadi tuhan Orde Baru.
Hari ini, persoalan yang sama terjadi lagi, walau dengan kerangka yang berbeda, kita tidak bisa jauh-jauh dari warisan yang kita terima. penguasaan media memang tidak lagi sepenuhnya milik negara dan jajarannya, tapi jadi milik para konglomerat yang pada akhirnya juga nuntut ikut menjabat. lantas apa bedanya?
lalu, pada akhirnya kita kebingungan sendiri, untuk memutuskan tontonan apa yang terbaik hari ini? jawabannya sudah pasti 'entah'. remottivi pernah mengkampanyekan untuk menjadi pengontrol atas remot yang kita pegang, kalau tidak suka, ya matikan. Tapi kenyataannya, masyarakat kita yang rata-rata adalah masyarakat menengah ke bawah itu selalu butuh dihiburkan. karena negara dan orang-orang di dalamnya tidak cukup lucu untuk dijadikan lawak-lawakan. Maka kita tontonlah gosip-gosip seputar masa lalu calon residen yang satu dan betapa hebatnya calon presiden yang lain di salah satu stasiun Televisi, dan secara bersamaan, kita tonton pula bagaimana heroiknya aksi-aksi blusukan yang dibarengi dengan berita perceraian di masa lalu seorang jendral dan pembunuhan yang berdarah-darah tanpa pernah diadili.
lalu, hari ini, saya putuskan untuk tidak lagi menonton Televisi, saya lebih suka drama korea dan film-film di star world, yang sejauh ini bermanfaat untuk memahami diri dengan pesan dari percakapan-percakapan yang mereka perankan. jauh dari gosip yang pada akhirnya berujung pada tangisan-tangisan. tapi, toh saya hanya segelintir orang dari beratus-ratus juta orang yang hari ini masih setia jatuh cinta pada negara yang payah ini. Saya tidak ingin lari dari kenyataan, bahwa Negara ini sangat menyedihkan. tapi, apa lagi yang bisa kita lakukan selain 'melawan' dan bertahan?
#Rumahperteduhan #lorongbaca #kamartakbernomor #lampujalan
Simposium OK VIDEO
Galeri nasional, Senin, 15 Juni 2015
Komentar
Posting Komentar