Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Lalu, NatalMu Menjadi Cahaya

Gambar
Daun gugur di halaman belakang (Dok. Pribadi) #1 Pada malam yang  Diam-diam kita lupakan. Ada harapan yang muncul  dari lilin yang kita nyalakan Tuhan ada di cahaya yang kita hidupkan Ia lahir tanpa diminta Tanpa didesak Tanpa ditunggu Mungkin tanpa perlu kita harapkan. Ia tetap lahir malam ini Lewat gema kidung pujian Lewat pohon natal Lewat doa-doa Di mana lagi kita bisa menyembunyikan diri? #2 Seperti cahaya yang berpendar Satu-satunya yang Tuhan harapkan Adalah apa yang sebenarnya kita kerjakan Apa sebenarnya yang ingin kita sebarkan Dari cahaya ,  Wajah-wajah manusia berseliweran Di sana,  segala kejahatan  dan kebaikan menjadi asap Hilang lenyap.  Lalu, apalagi yang bisa kita berikan? #3 Pada malam yang diam-diam kita abaikan Anak manusia tanpa pilihan dilahirkan Menembus batas-batas terkeji Menerobos ruang-ruang yang kita bentengi Hanya hati, yang paling sulit ia terjemahkan I...

Kampanye 16 HAKTP: Setiap Hari adalah Harapan

Gambar
25 November 2015 Hai Nak. Saya tahu kalian begitu semangat dan berbahagia. Walau malam begitu jahat untuk kalian. Walau lingkungan tidak begitu bisa dipercaya sepenuhnya. Nak. Saya tahu betul, kalau malam ini adalah malam harapan. Malam di mana negara ingin hadir. Mungkin sebenar-benarnya hadir. Untuk melindungi, menjaga dan memelihara. Foto sebelum tampil menari dan menyanyi di depan pak Menteri Hanif (Dok.Pribadi) Nak. Malam ini yang paling membahagiakan adalah, wajah lelah kalian, pura-pura dibahagiakan. Dan itu sama sekali tidak kelihatan pura-pura. Nak, hari ini menteri Hanif datang. Saya tidak tahu, apakah dia tahu kalau hari ini adalah hari pertama Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Keriuhan, menunggu, dan harapan-harapan yang kita gantungkan pada Negara. Selalu bahagia ya  Langsung minta foto saat obrolan harus diselesaikan (Dok.Pribadi)  Kamis,26 November 2015 Saat membahagiakan, justru saat bertemu perempuan ini. Bel...

Untuk Perempuan yang Sedang Patah Hati

Gambar
Senja dari rel kereta Stasiun Ledokombo Dari bumi, saya mendengar jeritan seorang perempuan. Sekencang-kencangnya jeritan. Tapi sekuat-kuatnya ia menjerit, hanya saya dan dirinya yang mendengar. Mungkin juga Tuhan. Sementara lagu "Kecewa" yang dinyanyikan Bunga mengiringi tulisan yang bukan apa-apa ini. Saya tertarik untuk merekam betapa ngilu perasaanya saat ini. Tapi, dia pasti sudah paham betul bahwa tidak ada yang paling luka selain membuat luka orang lain. Lalu, ia pilih untuk melukai dirinya sendiri. Menahan debar jantung, meredam denyut nadi yang tidak lagi teratur. Siapapun tahu, bahwa patah hati adalah sedalam-dalamnya kecewa. Ia tidak bisa sembuh oleh apapun. Oleh lagu apapun. Oleh hadiah apapun. Oleh puisi apapun. Oleh janji-janji apapun. Iya, apapun tidak bisa menyembuhkan. Yang tersisa dari patah hati adalah luka itu sendiri. Ia akan sesekali nyeri walau sudah diobati. Bahkan kenangan. Ia akan menjelma menjadi yang paling perih saat patah hati. Lagu...

Betapa Abadinya Patah Hati

Gambar
"Jangan pernah membuat patah hati seorang penulis, karena kau akan abadi dalam karyanya"-Anonim Asyik sendiri bersama Louisa Tiba-tiba Retno mengucapkan quote yang dibacanya dari sesuatu. Menatap saya dengan serius lalu tertawa terbahak-bahak. "Waktu membacanya, aku langsung ingat kau. Grace. Grace" katanya masih tertawa, lalu meneguk mocca. "Sudah berapa orang yang kau abadikan?" tanyanya masih bermonolog. Saya tahu, dia tidak perlu respon dan jawaban. Saya paham betul, dia hanya butuh saya tertawa untuk menertawakan keabadian-keabadian yang saya simpan sedalam-dalamnya ingatan pada orang-orang yang membuat saya patah hati dan yang saya patah hatikan. Dia memang salah satu perempuan yang mengikuti perjalanan pencatatan keabadian saya. Dan dia tahu betul siapa saja laki-laki yang berhasil mengabadikan diri pada tulisan saya. Lalu, kami menghabiskan malam dan minuman dengan mengobrol soal bagaimana pada akhirnya nanti, kami ...

Sebuah cerita dan tanda tanya tanda tanya

Gambar
Burung-burung kertas pada sebuah warung kopi di Kalisat Waktu menunjukkan jam 05.09 WIB, saya terbangun. Seperti biasa. Sebenarnya sudah menjadi kewajiban. Biasanya, saya berdoa sejenak dan membaca ayat-ayat pada kitab perjanjian. Lalu melanjutkan apa saja yang tertunda. Menyibukkan diri. Menyempatkan untuk melakukan macam-macam kerjaan. Mengetik. Membaca. Membereskan rak-rak. Menyapu. Atau apalah yabg terlihat menyibukkan. Biar dibilang manusia. Tapi, akhir-akhir ini. Saya bangun tetap jam 05.00 WIB tapi menemukan diri sendiri terbaring malas. Malas menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak bisa diduga-duga. Malas menghadapi pertanyaan dan pernyataan yang sebenarnya itu-itu saja. Malas menghadapi urusan-urusan negara yang semakin lama semakin tak tahu apa akar persoalannya. Malas menghadapi gosip-gosip. Malas menghadapi tanya jawab pemilukada yang akan berlangsung sebentar lagi. Malas menghadapi curiga-curiga. Malas menghadapi media-media yang benar salahnya tidak ada yang tanggu...

PAGI YANG NYINYIR

Gambar
Sepotong senja di Desa Sumber Lesung. (Dok.Pribadi) Sepagi ini, saya membaca banyak sekali komen tar ini itu dari media hantu. Komentar-komentar sinis tentang betapa tidak berartinya segala usaha dan niatan tentang apa saja. Mulai dari serial shalat Jumat yang khotbahnya sedangkal mata kaki dan sudah pasti tidak berisi. Padahal ya kalau meluap sampai pinggang takutnya kita susah jalan. Atau kalau udah sampai mulut dan hidung takutnya nggak bisa nafas. Atau kalau udah sampai kepala apa kamu sudah pandai bere nang dan menyelam? Atau, memang porsi yang kita harus terima, ya sebegitu dulu.haha Komentar lain yang masih saja hangat setelah satu tahun bekerja jadi bapak Negara. Semua hal buruk yang terjadi adalah salah Jokowi. Iya. Memang dia yang salah. Masa kamu. Iya kamu. Saya juga nggak mungkin nyalahin diri sendiri kalau masih bisa nyalahin orang. Apa lagi dia namanya ketua selain sumber ide juga sumber segala kesalahan terjadi. Pesan seorang bapak pada suatu pagi, "ya kamu...

Kita sedang melawan apa?

Gambar
Bunga rumput di halaman rumah Pak Moh. Ali (Dok.Pribadi) "Saya sedang asik sendiri. mendengarkan diri sendiri berdialog dengan angin, dinding dan tandatanya yang berseliweran. jendela saya buka agar udara bebas keluar masuk dan ya itu, berseliweran. meja yang berantakan, dan pekerjaan yang sudah terdaftar. sementara saya abaikan. saya mau seksama memahami pikiran-pikiran yang loncat-loncat. Akhir-akhir ini, saya merasa kesepian juga pada akhirnya."   Tulisan saya begitu kaku, bacaan? oh, sudah lama tidak membaca dengan fokus. satu buku hampir dua bulan belum selesai. setengahnyapun belum. Lalu pertanyaan seorang teman dalam tulisannya sedikit menohok. dalam. "lalu setelah kebebasan itu kita dapatkan, apa lagi yang akan kita tuliskan?" Dulu, saya begitu antusias. tuntas menulis setiap hari. tuntas berdiskusi setiap hari. tuntas mengerjakan banyak hal setiap hari. buku? oh, saya selalu berhasil membaca dua buku setiap minggu. saya punya daftar khusus....

Tiba-tiba ingin pulang secepat-cepatnya

Gambar
Jalur Pantai Pasir Putih Malikan (Dok.Pribadi) "Kamu Asli mana?" | Sumatera utara, tinggal dan besar di Bengkulu | Loh, ngapaian ke sini? | *Bengong dan cengir. Dialog tersebut hampir setiap bertemu orang baru terus berulang-ulang. dan saya selalu bengong dan cengir untuk menjawab pertanyaan tersebut. Beberapa meminta diyakinkan berulang kali, kalau saya datang ke sini bukan lagi magang ataupun lagi praktek. kalau saya bilang lagi jalan-jalan, justru banyak yang tidak percaya. kalau saya bilang bekerja, lah responnya justru tertawa. ya jauh bener kalau mau kerja datang ke sini. Iya, makanya saya gak bilang kerja. teman saya malah lebih ngawur, 'Bilang aja bersenang-senang'. Iya, di sini banyak hal memang cukup menyenangkan, tapi toh untuk bersenang-senang, kita butuh banyak ide untuk menghabiskan waktu dengan tidak monoton. Apakah tidak boleh, memilih cara untuk membahagiakan diri? Dan jika hanya untuk mencukupi kebutuhan pribadi, saya tidak perlu jauh-jauh ...

Menjemput Kemerdekaan dan Arwah

Gambar
Dijemput Senja Sidoardjo (dok. pribadi) Pada sebuah kesempatan, terkadang hidup hanyalah menyoal penantian untuk melaju pada kematian-kematian secara bergiliran. ternyata, hembusan nafas dan detakan jantung tidak pernah benar-benar kita tahu kapan berhentinya. Saya ingat, tiga tahun yang lalu, saya merayakan pesta kemerdekaan Republik Indonesia di Puncak Bogor dalam sebuah pertemuan mahasiswa Nasional. dan waktu itu kami sama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan cinta. Tahun berikutnya, saya merayakan upacara bendera bersama seluruh masyarakat Trans talang donok dan sahabat-sahabat yang bertemu dalam perjalanan selama dua bulan menikmati masa-masa penempatan Kuliah Kerja Nyata, waktu itu kami berpesta dengan nasi tumpeng dengan segala rasa. ibu-ibu menamainya tumpeng kemerdekaan, dan sudah pasti memasaknya juga dengan cinta. Tahun lalu, saya bersama orang-orang sunyi lainnya merayakan Kemerdekaan dalam ruang kosong. Hanya ada diri sendiri dan harapan-harapan yang tidak ...

Bahwa 'Mampir' di tempat ini Bukanlah Sembarang Mampir.

Gambar
Bahkan, hingga memasuki delapan belas hari hidup di Ledokombo, saya masih bertanya-tanya, mengapa saya sampai di sini. adalah suatu kemungkinan, jika ini pernah ada dalam rencana. tapi seingat saya, tidak pernah sama sekali. bahkan menyebut namanya saja saya tidak pernah. jangankan menyebut, saya masih sangat asing dan tidak pernah berhasrat untuk lari ke tempat ini. tapi toh, saya benar-benar ada di sini. sudah lebih dari dua minggu, dan tidak ada satu haripun yang saya lewati dengan gerutu. saya menikmatinya sebagai sebuah perjalanan panjang yang tidak pernah selesai. Saya menikmatinya hingga di detik ini. Pun, hingga hari ini, saat gemuruh Raung mulai terdengar sepanjang hari. tanda tidak aman dan sudah pasti sangat bahaya. Saya justru tidak khawatir, walau saya masih bingung, mengapa saya ada di sini. Suaranya begitu jelas, menggelisahkan. Tidak siapapun yang bisa menebak, apa yang akan terjadi ke depan. mengapa saya begitu berani untuk mati konyol di tempat ini. tapi, tidak...