Dialog Murid dan Guru (Lama yang Baru Tiba)

Sumber: Koleksi Pribadi

Saya belajar lagi. Sepertinya kembali dicek ulang, dan pertanyaanku tadi pagi terkonfirmasi. Saya terlalu mengharapkan banyak sementara saya tidak melakukan sebanyak-banyaknya yang sudah orang lain lakukan. Tapi persoalannya bukan disitu, saya harusnya kembali bertanya pada diri sendiri, bagaimana harus mengenal siapa saya? Apa yang mau saya kerjakan? dan apa sebenarnya yang saya inginkan?

Bukankah bercita-cita adalah kewajiban semua orang? Iya. Seperti sebelum-sebelumnya, Pak Danur memang paling bisa memberi pencerahan. Paling tidak, memberi tahu apa yang seharusnya ku kerjakan, kupelajari dan ku cari tahu. Bukan melarang, tapi apakah saya sadar dan paham betul apa yang sedang saya lakukan.

Perbincangan hangat dimulai dengan bertanya kabar, tadi saya jumpai dia setelah kemaren sempat tertunda. Kami membahas soal birokrasi kampus, orang-orang di dalamnya hingga sampai pada kesepakatan bahwa sistem memang tidak bisa kita lawan. Sebaik-baiknya manusia, selain ia berguna juga harus sabar. Diingatkannya kembali, bahwa sabar memang tidak ada batasnya. Pendapat itu kusepakati, adik perempuanku juga pernah mengatakannya. Bahwa tidak ada batasan sabar. Pagi ini seperti dipaksa untuk mengingat, jika sudah lupa. Saya mengerti sampai sejauh ini, kami lanjut ke perihal tatakrama dan santunnya budaya nusantara. Tidak jauh-jauh, kami membahas bagaimana seorang besar yang sudah punya pengetahuan selangit harus hormat kepada guru. Bukan soal dia lebih hebat, lebih pintar ataupun lebih semuanya, tapi ini persoalan nilai-nilai yang dibangun, bagaimana seorang yang hebat mengingat bagaimana perjuangan guru membesarkannya. Bukan pula soal materil, tapi lebih kepada cinta yang sedalam-dalamnya.
Lebih juga ke persoalan bagaimana satu harus mengerjakan dan membantu seribu. Upah dan penghargaan tidak dibahas di dalamnya. Lalu siapa lagi yang menyalami mereka dan menanyai kabar dan kesehatan? Yang ini, tidak sepenuhnya aku iyakan, karena bukankah masing-masing sudah pada peran dan tugasnya. Guru mengajar dan murid diajar. Jika murid tidak diajar, dia berhak bertanya, dan jika tak di gubris juga bisa marah. Tapi kami kembali lagi ke topik utama kami soal kesabaran yang tak berbatas dan berbalas. Jika sabar sudah dibatasi dengan ketidakkuatan menahan diri, lalu dimana letak sabar yang panjang itu? Panjang sabar itupun tidak sembarang kalimat jitu. Ia berperan sebagai pengingat bahwa sistem tidak bisa kita lawan dengan amarah. Lantas, dengan apa? Cara terbaik kata dosenku adalah dengan mengalah. Itu hanya soal kepentingan dua orang yang tidak ketemu, lalu berbenturan dengan kepentingan-kepentingan lain, lantas waktu-waktu yang seharusnya lebih cepat bisa jadi korban. Begitulah.

Setelahnya, kawanku yang seorang datang, sepertinya bahagia sekali bertemu dosen lama yang baru tiba ini. Walau masih dalam tugas belajar, tidak bisa mengajar. Tapi pertemuan kali ini seperti kuliah lanjutan. Bukan hanya soal mekanisme dan sistem yang rewel, tapi kami masuk dalam pembahasan penelitian disertasinya yang cukup menantang. Saya tak tahu benar, tapi sepertinya memang bagus. Dia sudah lama merencanakan ini, lalu diwujudkannya sekarang. Perihal budaya dan kerajaan masa lampau. Dia memulainya dengan bertanya soal skripsi temanku yang baru datang tadi. Feminis. Lalu apa yang mau dikerjakan? Lio nama temanku, dia tak begitu berminat membahasnya. Karean sayapun tahu, dosenku anti sekali sebenarnya soal begituan. Tapi tidak kali ini. Dosenku membahs cukup melegakan. kali ini dia pakai pendekatan sejarah dan etnografis. Aku hanya tahu satu novel karya D Sanjaya. Judulnya Manusia Langit. Itu adala novel andalan jika sudah menyangkut etnografis. Novel yang mengangkat budaya nias dan jogja, sialnya beliau belum baca. Komentarnya hanya 'pasti jelek, soalnya saya belum baca. Kalo ntar udah baca, nilainya liat nanti. Baca budaya enggano sudah?  Mentawai? Butar-butar??' Saya menggeleng 'lah Bahasannya panjang, gawat ini, kamu baca apa?' Dia cengir dan memang tidak membutuhkan jawabanku. Pertanyaan paling sederhana hari ini yang dia tanyakan adalah, 'kamu asli mana? Orang tua dari mana? Tinggal dimana? Dan kamu tahu bagaimana cara hidup dan struktur sosial di daerahmu? Kamu bisa mencatatkannya? Bisa mengenal dengan baik sampai keturunan ke berapa? 7 keturunan bisa?' Seperti sebelumnya. Saya gelengkan kepala. 'Tapi saya bisa inget kok pak, sampe opung saya' jawabku. 'Ya sudah, pelajari lagi. Saya bisa ingat dan tahu sampe 7 keturunan loh Grace. Kenapa? Karena saya hidup dan benar-benar masuk di dalamnya. Lantas, saya memahami semesta dan alam ini ya lewat nilai, pelajaran, dan mantra-mantra mereka' saya hanya bengong, tidak begitu mengiyakan. Mantra, rapalan-rapalan dan lain-lain bukan membangun tuhan baru, tapi bagaimana hidup harus bersinergi kesemuanya. 'Saya sebenarnya gak berani lagi datang kemari, mahasiswa sekarang udah pinter-pinter. Teori dan kajiannya barat sih, mental lah sama saya yang dari dulu sampe sekarang cuma pake kuncoroningrat. Tapi jangan lupa loh ya, kamu gak bakal bisa masuk ke rumah lio pakek kunci rumah kamu' saya tiba-tiba kaku. Diam dan kepala saya mulai berputar beserta muatan di dalamnya.

Kelewatan sekali ya, ingin mengenal negara asing, tapi mengenal diri sendiri saja belum seutuhnya. Lantas bagaimana saya menjawab apa yang saya mau? Apa yang saya akan kerjakan? Dan pertanyaan paling dasar, tentang ke'aku'an?

Bagaimana mungkin, saya sibuk sekali dengan urusan-urusan orang lain, sementara saya sendiri terlibat dalam persoalan keragu-raguan menyoal mengapa harus ada Tuhan?

'Orang boleh pinter sepinter-pinternya, orang boleh hebat sehebat-hebatnya, dan akan jadi pembohong besar kalau mereka ndak percaya Tuhan' muka saya masih muka berat, bukan karena bahasannya mulai serius, tapi saya kok seperti kebentur sama apa yang saya tahu, apa yang saya iseng pahami, dan rasanya berdenyut sekali.

'Cobalah masuk ke hutan sendirian, hujan badai, terus kita masih percaya kalau diri kita bisa nyelamatin? Nggak. Kita harus menyatu sama semesta dan semua unsur yang ada di dalamnya' untuk yang satu ini saya sepakati, saya percaya bahwa ada kekuatan lain di luar diri saya secara individu. Kekuatan yang harus disinergikan dengan kekuatan semesta. Dan tanpa kolaborasi keduanya, apapun yang akan kau kerjakan tidak akan berhasil. Dan unsur X yang rahasia itu saya sebut Tuhan, dan masing-masing keyakinan dan ajaran juga menyebutnya demikian. Berarti saya tidak boleh ragu atas pilihan saya. Jika tidak sepakat,juga tidak apa. Karena pilihannya tidak hanya percaya, ada tidak percaya, ragu-ragu dan bahkan tidak penting. Ya tidak apa. Hanya saja, saya memilih percaya, bukan karena yang memaparkannya adalah dosen saya yang sedang kuliah S3 di komunikasi budaya, tapi lebih dari itu, bahkan jauh sebelum saya kenal dengan beliau, saya mengakui bahwa kekuatan X di luar keterbatasan saya dalah kuasa yang sangat Gaib. Dan saya yang terbatas ini tidak sanggup untuk menjelaskan. Saya hanya seperti dapat konfirmasi saja atas pertanyaan-pertanyaan utama yang belum saya sempatkan untuk menjawabnya. Kalau ada yang sanggup dan punya alasan paling masuk akal sekalipun, tidak perlu menjelaskannya pada saya. Karena saya tidak sedang mencari kebenaran, karena saya tidak lagi pada fase ragu-ragu, dan saya tidak sedang membagi benar dan salah. Sesuatu yang banyak orang menyebutnya Gaib adalah unsur X yang menurut saya adalah yang bisa diterjemahkan saat secara pribadi dan secara individu mengalami. Bukan karena ada rencana dan khayalan, tapi mengalami karena memang harus mengalami, dan bukankah sesuatu yang Gaib tidak bisa atau tidak sepenuhnya bisa diterjemahkan? Begitukan?

Itu baru soal keyakinan, kalau tidak yakin, jangan. Lalu perbincangan semakin hangat. Kami melompat ke satu persoalan ke persoalan lain, tidak runut memang, tapi dengan begitu, saya semakin mengerti bahwa kekonsistenan hanya melahirkan kekakuan. 'Kayak saya saja, merdeka. Bebas. Sebenar-benarnya bebas loh ya' katanya, seperti menangkap ketidak sistematisan perbincangan kami. 'Bagaimana dengan centini? Mangir? Sudah baca?' Tanyanya lagi. 'Belum, tapi saya sudah punya bukunya sejak bulan januari lalu, masih dibungkus sampe sekarang pak. Belum sempet dibaca' 'lah,kamu emang sibuk banget ya? Hahahahaha' saya tahu betul itu bukan ledekan, juga bukan sindiran, itu kenyataan yang saya harus sadari. Sebenarnya saya sibuk apa? Sampai belum ada buku yang benar-benar selesai di baca sejak Februari lalu. 'Bacalah, baru nanti saya luruskan apa yang kamu tangkep. Atau ada yang mau kamu debatin.hahaha' dia hisap rokoknya, sambil tertawa dengan bahagia. Dia tau betul. Kalau saya skak pada statement terakhir.

Kami berangkat lagi ke fenomena sosial tentang persoalan manusia dan perempuan, dan 'penyerangan-penyerangan terhadap patriarki' dia berpendapat, lebih kepada setelah dia membaca banyak dan belajar banyak, bahwa teori-teori barat, persoalan-persoalan di negara lain, fenomena-fenomena di belahan dunia yang lain tidak bisa di rumuskan dalam satu simpulan bahwa setiap persoalan yang ada sama rasa dan bentuknya, padahal kita beragam sudah sejak zaman nabi bahkan zaman batu. Lantas, kenapa bisa persoalan yang muncul dari industri prancis dan inggris bisa di kerucutkan pada satu kesimpulan bahwa setiap manusia dan perempuan memilki persoalan yang sama?. 'Kamu itu manusia belum utuh, karena pada hakikatnya manusia adalah laki-laki dan perempuan. Jika kamu masih satu individu berarti kamu belum utuh. Kalau saya sama istri saya itu baru utuh'. Saya tidak sepenuhnya mengerti, tapi jauh dalam hati dan pikiran saya, beranggapan bahwa bukankah itu hanya pengertian satu perspektif saja, anggap saja teori penciptaan. Jika dikaji secara mendalam, dengan teori yang lain, bisa saja bahwa manusia utuh adalah dia yang punya sisi laki-laki dan perempuan dalam dirinya. Katakanlah Feminim dan maskulin. Tapi saya tidak mengutarakannya, saya tahu akan ada perbantahan yang lebih serius dari pikiran saya. Bukankah manusia utuh dia yang punya sisi ibu dan ayah dalam satu kepribadian, lalu mari kita uji mana yang paling dominan. Karena tidak mungkin Tuhan salah dalam pengucapan, menciptakan manusia pertama yang utuh, tanpa belahan yaitu adam. Lalu, ketika iba melihat Adam harus berjalan sendirian, Ia masuk dalam penciptaan kedua, yaitu Hawa. Ibu dari segala makhluk. Mana yang lebih masuk telinga? Atau mana yang lebih sulit diterjemahkan? Terserah. Saya masih menyepakati pikiran saya. Utuh. Saya manusia. Begitulah.

Lalu. Obrolan semakin panas dan simpang siur, seorang teman laki-laki masuk ruangan dan mencoba duduk sebentar. Mendengarkan obrolan. Lalu setelah 10menit, dia izin pamit. 'Pergi dulu pak, gak kuat' dosenku tertawa, cukup keras. 'Halah, baru sebentar, ini grace udah hampir dua jam loh' 'ngerti grace? Sayo dak kuek grace. Pamit yoo' padahal, perbincangan 10menit sebelumnya hanya soal bagaimana pembagian kerja laki-laki dan perempuan, Saya baru tahu bahwa dalam sebuah pemerintahan berbentuk kerajaan, Perempuan tidak hanya ada Permaisuri dan selir. Dan tugas selir tidak semata-mata soal reproduksi dan biarahi. Tapi soal pembagian tugas dan peran perempuan itu sendiri.

Pada struktur perempuan dalam kerajaan, ada yang namanya Permaisuri, garwa, selir dan langenan. ke-empatnya adalah perempuan-perempuan yang dipilih untuk mendampingingi raja. Terlepas ini menyoal poligami atau yang lainnya. Tapi sebuah kerajaan sama halnya sebuah negara dengan tugas dan tanggungjawab yang besar, dan kerja domestikpun tidak bisa hanya dikerjakan satu orang perempuan saja. Untuk itu, Ada pembagian tugas pada tingkatan  perempuan-perempuan dikerajaan. Dan mereka dipilih berdasarkan naluri dan panggilan hati. Bukan karena hal-hal pribadi. Entahlah. Saya juga tidak begitu mengerti.

Kedudukan tertinggi tetap ada pada Permaisuri, Dialah perempuan satu-satunya yang dipilih raja sebagai teman hidup dan hingga mati. Saya baru ingat, bahwa tidak pernah ada dua permaisuri dalam satu kerajaan. Iya kan? Permaisuri bertugas sebagai pendamping raja, dan yang menemani raja dalam segala bentuk upacara dan segala ritual dan pesta rakyat.

Lalu, garwa, selir dan langenan punya perannya sendiri. Saya tidak begitu menyerap dengan baik, tapi saya akan membacanya. Yang pasti, ke empat struktur perempuan itu adalah lambang pembagian tugas-tugas domestik.

Yang menjadi pemikiranku sederhana saja, bukankah ke empat struktur perempuan tersebut adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya perempuan tidak bisa mengerjakan keseluruhan tugas-tugas domestik? Lantas bagaimana mungkin, perempuan harus mengasuh anak, membereskan rumah, dan mencuci, memasak, belum lagi harus menjadi juru bagi keuangan, juru tulis dan catat. Bukankah masing-masing perempuan atau tiap-tiap manusia punya naluri dan panggilan hidup paling dominan. Dan jika mengerjakan segalanya secara sendirian berarti memaksakan keterbatasan fisik manusia.

'Berarti bisa dong pak, makek fenomena struktur perempuan kerajaan, di komper dengan lahirnya gerakan-gerakan perempuan, feminis, gender? bahwa sebenarnya manusia utuh, baik laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak bisa dipaksakan untuk mengerjakan tugas-tugas yang disepakati oleh struktur sosial?' Tanyaku, kali ini serius sekali. Karena sejarah yang baru disampaikannya menurutku adalah salah satu bukti paling konkrit. Lantas,kenapa pembagian peran saat ini kita persoalkan. Padahal, itu sudah terjadi sejak zaman dahulu. Tidak hanya pembagian peran laki-laki dan perempuan, tapi juga perempuan dengan perempuan. Lantas yang paling tahu apa yang paling dominan dalam diri kita adalah diri kita sendiri. Begitu kan? 'Lah, tidak bisa grace. Karena itukan sistem kerajaan,dan kerajaan itu luas, makanya ada pembagian tugas dan fungsi' jawabnya. 'Lah,tapikan pemilihan  garwa, selir dan langenan itu tida juga sembarangan pak. Raja dan pihak kerajaan juga pasti memilki pertimbangan apa yang paling dominan pada tiap-tiap pribadi mereka. Seperti garwa yang tugasnya sebagai penjaga, dan perempuan tangguh. Yang menjaga raja dari orang-orang yang tidak menyukai lantas berbuat jahat. Dilihat dari tugasnya, seorang garwa adalah perempuan ayu yang maskulin kan?' Aku seperti mendapat bola api, membuat pembahasan semakin panas dan beliau memperbaiki posisi duduknya. Semakin serius. 'Iya, memang begitu seharusnya. Saya sebagai laki-laki, dan juga suami (yang baik) tidak akan santainya merokok dan ngopi, kalau lihat istriku yang lagi hamil mencuci pakaian, sambil memasak. saya tidak akan jadi manusia utuh tanpa dia, berarti saya harus membagi diri saya sebagai penolong untuk tugas rumah kami berdua' katanya. Dia masih kukuh dengan pendapatnya bahwa manusia utuh adalah mereka yang sudah memiliki hubungan emosional dan rasional, jasmani dan rohani. Ya itu. Semacam ikatan suami dan istri.

'Gini grace, coba kamu pikir. Kalau kamu tanya istriku loh ya, iklas gak dia kalau ada perempuan lain yang mau masakin buat aku? Dia justru milih buat gak kerja lagi, buat fokus ngurus aku sama anak. Ketimbang dia harus bayar orang lain buat ngasuh anak, ntar anak lebih sayang sama yang ngasuh, ditambah suaminya juga ntar mepet, karena ketemu sama pengasuh aja, gimana?' Lah, saya mingkem lagi. Tapi tidak diam sebenarnya. Pikiran saya tetap bekerja, hanya cara membantah saja belum begitu cerdas. Masih kurang baca. Mungkin saja. 'Gimana?' Tanyanya lagi. 'Gimana kalau saya gak suka masak, atau tepatnya saya gak bisa masak, karena tidak ada unsur naluriah memasak dalam diri saya, tapi saya harus bisa memasak sebagai syarat utama jadi istri? Persoalnnya kan disitu. Budaya kita menuntut bukan membangun,ya dengan terpaksa saya harus ikut syarat masyarakat untuk bisa di anggap sebagai istri yang baik. Padahal seharusnya, saya memasak itu karena saya suka memasak, bukan karena saya perempuan dan saya HARUS pinter masakkan?' Bantahku.

Yang paling menyebalkan dari diskusi ini adalah 'terus masalahnya dimana sih grace? Budaya kita tidak mengenal pembagian tugas grace. Itu istilah barat. Kalau budaya kita yang ada adalah Naluri, hati,  panggilan alam. Coba besok-besok kalau penyuluhan atau berdayain perempuan-perempuan desa jangan pakek istilah pembagian tugas, karena itu soal apa yang paling dominan dan juga apa yang paling diperlukan dan seberapa besar kita mau belajar untuk mengerjakannya. Toh, kalau gak bisa masak juga, kalau belajar bisa kan?haahhhaha' dia tertawa. Baik saya ataupun dia sebenarnya sudah sama-sama mengerti, saya tahu betul, kajian budaya mengharapkan pertahanan nilai-nilai yang sudah dibangun secara filosofis, dan memiliki maksud dan tujuannya. Dan yang lebih penting dan pasti, pendekatannya menggunakan aspek budaya lokal, tidak barat. Hahaaha. Sial.

'Gini aja grace, bagaimana kamu tahu. Kalau perempuan itu dalam masalah?' Tanyanya. 'Lihat dari data, berita dan fenomena6enomena yang terjadi. Tidak jauh-jauh pak. Orang-orang terdekat' jawabku. 'Gimana kalau peningkatan kasus kekerasan itu bersumber dari proyek pemberdayaan itu?' Saya cukup paham. Beliau tidak pernah dan tidak mau bersentuhan dengan lsm. 'Lah, sebelumnya mereka gak sadar, atau gak tahu harus ngapain, saat terjadi kekerasan, setelah diberi tahu, baru mereka sadar dan tahu bahwa yang terjadi selama ini adalah bentuk-bentuk kekerasan. Dan itu sudah terjadi lama' jawabku. 'Atau bagaimana kalau sebenarnya perempuan jadi lebai, dikit-dikit kekerasan' katanya lagi. 'Lah, lebai yang mananya pak? Itu kasus perkosaan, pelecehan masa iya dilebai-lebaikan' jawabku. Kali ini dengan emosi. Tapi saya harus kuat, karena jika saya emosi, dia akan tertawa dan memenangkan perbincangan. Walau ini bukan perihal menang dan kalah, tapi tertawa adalah cara merespon kekonyolan. Dan saya tidak mau. Saya tarik nafas kuat-kuat. Dan kembali senyum. 'Jadi gini Grace. Kita harus pintar menyampaikan pesan. Kenapa sih harus pakek pendekatan asing untuk menggodok persoalan kita? Pendekatannya jangan jauh-jauhlah. Saya tidak pernah lihat aktifis perempuan yang mau menulis soal perempuan-perempuan hebat indonesia. Yang dikenal cuma Kartini aja'. Dia sempat menyebutkan dua nama perempuan yang menjadi panglima perang dalam pertarungan besar. Saya lupa namanya. 'Perempuan Indonesia itu memang perempuan hebat grace. Apa kamu pernah lihat gitu, di barat atau di negara mana yang perempuannya berkebun? menyapu sambil menggendong bayi? Membuka lahan? Berjalan pakek beronang berisi kayu bakar? Di luar negeri mana ada, yang ada cuma di Indonesia. Dan itu ke khasannya. Perempuan Indonesia itu memang tangguh sejak lahir Grace. Nalurinya memang tangguh. Lalu, kamu mau mengkaji fenomena itu pakek teori gender? Mana kena' dia tertawa, kembali menghisap rokoknya. 'Persoalannya itu bagaimana kamu mengkaji persoalan lokal dengan pendekatan lokal juga. Nah, PR mu tu cari sejarah Perempuan-perempuan tangguh di Indonesia, jangan cuma Kartini'

Waktu berlalu, perbincangan cukup hangat, materi obrolan hampir habis. Beliau masih diam sebentar, saya tahu kalau dia masih ingin mencari bahan baru.
'Oh ya, dimana-mana lagi musim sosialisasi ya. Tapi yang kita tahu itu dari barat. Penambahan energi. Kamu tahu gak, kalau sistem itu sudah kita pakek sejak zaman kerajaan dulu. Kamu tahu suluh? Suluh itu cahaya, penerang, dan sistem penyuluhan itu sudah lama sekali, tapi sekarang muncul dengan nama yang sama, bentuk yang sama, tapi sumber berbeda. Kayak yang sering kamu kerjain tu, biar perempuan semakin berdaya.haahaha. Kita tu cuma sering lupa, cuma perlu diingetin aja. Gak perlu lagi itu pemberdayaan-pemberdayaan. Bisa cari uang 50ribu udah berdaya. Bisa idup apa sama uang segitu? Yayaya. Gak usah dijawab' dia senang sekali buat panas. Tapi saya tahu, waktu bertemu dengan beliau adalah waktu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Untuk menguji diri dan untuk mengkonfirmasi apa yang gagal dan apa yang harus saya kerjakan. Kami terbiasa untuk tidak berdebat. Saya ingat dulu 'kalau mau berdebat sama lawanmu, kalau sama kawan diskusi. Akhirannyakan bukan siapa yang menang, tapi apa yang harus kita pikirkan dan kerjakan' begitulah.

Waktu berputar begitu cepat. Sepertinya pertemuan harus diakhiri. Dan nanti dilanjuti jika kesempatan tepat waktu. 

April sudah hampir habis. Kamu sedang apa?

#RuagTunggu #RumahPerteduhan #LorongBaca #KamarTakbernomor #LampuJalan
Selasa, 14 April 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian