Dialog Murid dan Guru (Lama yang Baru Tiba)
![]() |
Sumber: Koleksi Pribadi |
Saya belajar lagi.
Sepertinya kembali dicek ulang, dan pertanyaanku tadi pagi terkonfirmasi. Saya
terlalu mengharapkan banyak sementara saya tidak melakukan sebanyak-banyaknya
yang sudah orang lain lakukan. Tapi persoalannya bukan disitu, saya harusnya
kembali bertanya pada diri sendiri, bagaimana harus mengenal siapa saya? Apa
yang mau saya kerjakan? dan apa sebenarnya yang saya inginkan?
Bukankah
bercita-cita adalah kewajiban semua orang? Iya. Seperti
sebelum-sebelumnya, Pak Danur memang paling bisa memberi pencerahan. Paling
tidak, memberi tahu apa yang seharusnya ku kerjakan, kupelajari dan ku cari
tahu. Bukan melarang, tapi apakah saya sadar dan paham betul apa yang sedang
saya lakukan.
Perbincangan
hangat dimulai dengan bertanya kabar, tadi saya jumpai dia setelah kemaren sempat
tertunda. Kami membahas soal birokrasi kampus, orang-orang di dalamnya hingga
sampai pada kesepakatan bahwa sistem memang tidak bisa kita lawan. Sebaik-baiknya
manusia, selain ia berguna juga harus sabar. Diingatkannya kembali, bahwa sabar
memang tidak ada batasnya. Pendapat itu kusepakati, adik perempuanku juga
pernah mengatakannya. Bahwa tidak ada batasan sabar. Pagi ini seperti dipaksa
untuk mengingat, jika sudah lupa. Saya mengerti sampai sejauh ini, kami lanjut
ke perihal tatakrama dan santunnya budaya nusantara. Tidak jauh-jauh, kami
membahas bagaimana seorang besar yang sudah punya pengetahuan selangit harus
hormat kepada guru. Bukan soal dia lebih hebat, lebih pintar ataupun lebih
semuanya, tapi ini persoalan nilai-nilai yang dibangun, bagaimana seorang yang
hebat mengingat bagaimana perjuangan guru membesarkannya. Bukan pula soal
materil, tapi lebih kepada cinta yang sedalam-dalamnya.
Lebih juga ke
persoalan bagaimana satu harus mengerjakan dan membantu seribu. Upah dan
penghargaan tidak dibahas di dalamnya. Lalu siapa lagi yang menyalami mereka
dan menanyai kabar dan kesehatan? Yang ini, tidak
sepenuhnya aku iyakan, karena bukankah masing-masing sudah pada peran dan
tugasnya. Guru mengajar dan murid diajar. Jika murid tidak diajar, dia berhak
bertanya, dan jika tak di gubris juga bisa marah. Tapi kami kembali lagi ke
topik utama kami soal kesabaran yang tak berbatas dan berbalas. Jika sabar
sudah dibatasi dengan ketidakkuatan menahan diri, lalu dimana letak sabar yang
panjang itu? Panjang sabar itupun tidak sembarang kalimat jitu. Ia berperan
sebagai pengingat bahwa sistem tidak bisa kita lawan dengan amarah. Lantas,
dengan apa? Cara terbaik kata dosenku adalah dengan mengalah. Itu hanya soal
kepentingan dua orang yang tidak ketemu, lalu berbenturan dengan
kepentingan-kepentingan lain, lantas waktu-waktu yang seharusnya lebih cepat bisa jadi korban. Begitulah.
Setelahnya, kawanku yang seorang datang, sepertinya
bahagia sekali bertemu dosen lama yang baru tiba ini. Walau masih dalam tugas
belajar, tidak bisa mengajar. Tapi pertemuan kali ini seperti kuliah lanjutan.
Bukan hanya soal mekanisme dan sistem yang rewel, tapi kami masuk dalam
pembahasan penelitian disertasinya yang cukup menantang. Saya tak tahu benar,
tapi sepertinya memang bagus. Dia sudah lama merencanakan ini, lalu
diwujudkannya sekarang. Perihal budaya dan kerajaan masa lampau. Dia memulainya
dengan bertanya soal skripsi temanku yang baru datang tadi. Feminis. Lalu apa
yang mau dikerjakan? Lio nama temanku, dia tak begitu berminat membahasnya.
Karean sayapun tahu, dosenku anti sekali sebenarnya soal begituan. Tapi tidak
kali ini. Dosenku membahs cukup melegakan. kali ini dia pakai pendekatan
sejarah dan etnografis. Aku hanya tahu satu novel karya D Sanjaya. Judulnya
Manusia Langit. Itu adala novel andalan jika sudah menyangkut etnografis. Novel
yang mengangkat budaya nias dan jogja, sialnya beliau belum baca. Komentarnya
hanya 'pasti jelek, soalnya saya belum baca. Kalo ntar udah baca, nilainya liat
nanti. Baca budaya enggano sudah? Mentawai?
Butar-butar??' Saya menggeleng 'lah Bahasannya panjang, gawat ini, kamu baca
apa?' Dia cengir dan memang tidak membutuhkan jawabanku. Pertanyaan paling
sederhana hari ini yang dia tanyakan adalah, 'kamu asli mana? Orang tua dari
mana? Tinggal dimana? Dan kamu tahu bagaimana cara hidup dan struktur sosial
di daerahmu? Kamu bisa mencatatkannya? Bisa mengenal dengan baik sampai
keturunan ke berapa? 7 keturunan bisa?' Seperti sebelumnya. Saya gelengkan
kepala. 'Tapi saya bisa inget kok pak, sampe opung saya' jawabku. 'Ya sudah,
pelajari lagi. Saya bisa ingat dan tahu sampe 7 keturunan loh Grace. Kenapa?
Karena saya hidup dan benar-benar masuk di dalamnya. Lantas, saya memahami
semesta dan alam ini ya lewat nilai, pelajaran, dan mantra-mantra mereka' saya
hanya bengong, tidak begitu mengiyakan. Mantra, rapalan-rapalan dan lain-lain
bukan membangun tuhan baru, tapi bagaimana hidup harus bersinergi kesemuanya.
'Saya sebenarnya gak berani lagi datang kemari, mahasiswa sekarang udah
pinter-pinter. Teori dan kajiannya barat sih, mental lah sama saya yang dari
dulu sampe sekarang cuma pake kuncoroningrat. Tapi jangan lupa loh ya, kamu gak
bakal bisa masuk ke rumah lio pakek kunci rumah kamu' saya tiba-tiba kaku. Diam
dan kepala saya mulai berputar beserta muatan di dalamnya.
Kelewatan sekali ya, ingin mengenal negara asing, tapi
mengenal diri sendiri saja belum seutuhnya. Lantas bagaimana saya menjawab apa
yang saya mau? Apa yang saya akan kerjakan? Dan pertanyaan paling dasar,
tentang ke'aku'an?
Bagaimana mungkin, saya sibuk sekali dengan
urusan-urusan orang lain, sementara saya sendiri terlibat dalam persoalan
keragu-raguan menyoal mengapa harus ada Tuhan?
'Orang boleh pinter sepinter-pinternya, orang boleh
hebat sehebat-hebatnya, dan akan jadi pembohong besar kalau mereka ndak percaya
Tuhan' muka saya masih muka berat, bukan karena bahasannya mulai serius, tapi
saya kok seperti kebentur sama apa yang saya tahu, apa yang saya iseng pahami,
dan rasanya berdenyut sekali.
'Cobalah masuk ke hutan sendirian, hujan badai, terus
kita masih percaya kalau diri kita bisa nyelamatin? Nggak. Kita harus menyatu
sama semesta dan semua unsur yang ada di dalamnya' untuk yang satu ini saya
sepakati, saya percaya bahwa ada kekuatan lain di luar diri saya secara
individu. Kekuatan yang harus disinergikan dengan kekuatan semesta. Dan tanpa
kolaborasi keduanya, apapun yang akan kau kerjakan tidak akan berhasil. Dan
unsur X yang rahasia itu saya sebut Tuhan, dan masing-masing keyakinan dan
ajaran juga menyebutnya demikian. Berarti saya tidak boleh ragu atas pilihan
saya. Jika tidak sepakat,juga tidak apa. Karena pilihannya tidak hanya percaya,
ada tidak percaya, ragu-ragu dan bahkan tidak penting. Ya tidak apa. Hanya
saja, saya memilih percaya, bukan karena yang memaparkannya adalah dosen saya
yang sedang kuliah S3 di komunikasi budaya, tapi lebih dari itu, bahkan jauh
sebelum saya kenal dengan beliau, saya mengakui bahwa kekuatan X di luar
keterbatasan saya dalah kuasa yang sangat Gaib. Dan saya yang terbatas ini
tidak sanggup untuk menjelaskan. Saya hanya seperti dapat konfirmasi saja atas
pertanyaan-pertanyaan utama yang belum saya sempatkan untuk menjawabnya. Kalau
ada yang sanggup dan punya alasan paling masuk akal sekalipun, tidak perlu
menjelaskannya pada saya. Karena saya tidak sedang mencari kebenaran, karena
saya tidak lagi pada fase ragu-ragu, dan saya tidak sedang membagi benar dan
salah. Sesuatu yang banyak orang menyebutnya Gaib adalah unsur X yang menurut
saya adalah yang bisa diterjemahkan saat secara pribadi dan secara individu
mengalami. Bukan karena ada rencana dan khayalan, tapi mengalami karena memang
harus mengalami, dan bukankah sesuatu yang Gaib tidak bisa atau tidak
sepenuhnya bisa diterjemahkan? Begitukan?
Itu baru soal
keyakinan, kalau tidak yakin, jangan. Lalu perbincangan semakin hangat. Kami
melompat ke satu persoalan ke persoalan lain, tidak runut memang, tapi dengan
begitu, saya semakin mengerti bahwa kekonsistenan hanya melahirkan kekakuan.
'Kayak saya saja, merdeka. Bebas. Sebenar-benarnya bebas loh ya' katanya,
seperti menangkap ketidak sistematisan perbincangan kami. 'Bagaimana dengan
centini? Mangir? Sudah baca?' Tanyanya lagi. 'Belum, tapi saya sudah punya
bukunya sejak bulan januari lalu, masih dibungkus sampe sekarang pak. Belum
sempet dibaca' 'lah,kamu emang sibuk banget ya? Hahahahaha' saya tahu betul itu
bukan ledekan, juga bukan sindiran, itu kenyataan yang saya harus sadari.
Sebenarnya saya sibuk apa? Sampai belum ada buku yang benar-benar selesai di
baca sejak Februari lalu. 'Bacalah, baru nanti saya luruskan apa yang kamu
tangkep. Atau ada yang mau kamu debatin.hahaha' dia hisap rokoknya, sambil
tertawa dengan bahagia. Dia tau betul. Kalau saya skak pada statement terakhir.
Kami berangkat
lagi ke fenomena sosial tentang persoalan manusia dan perempuan, dan 'penyerangan-penyerangan
terhadap patriarki' dia berpendapat, lebih kepada setelah dia membaca banyak
dan belajar banyak, bahwa teori-teori barat, persoalan-persoalan di negara
lain, fenomena-fenomena di belahan dunia yang lain tidak bisa di rumuskan dalam
satu simpulan bahwa setiap persoalan yang ada sama rasa dan bentuknya, padahal
kita beragam sudah sejak zaman nabi bahkan zaman batu. Lantas, kenapa bisa
persoalan yang muncul dari industri prancis dan inggris bisa di kerucutkan pada
satu kesimpulan bahwa setiap manusia dan perempuan memilki persoalan yang
sama?. 'Kamu itu manusia belum utuh, karena pada hakikatnya manusia adalah
laki-laki dan perempuan. Jika kamu masih satu individu berarti kamu belum utuh.
Kalau saya sama istri saya itu baru utuh'. Saya tidak sepenuhnya mengerti, tapi
jauh dalam hati dan pikiran saya, beranggapan bahwa bukankah itu hanya
pengertian satu perspektif saja, anggap saja teori penciptaan. Jika dikaji
secara mendalam, dengan teori yang lain, bisa saja bahwa manusia utuh adalah
dia yang punya sisi laki-laki dan perempuan dalam dirinya. Katakanlah Feminim
dan maskulin. Tapi saya tidak mengutarakannya, saya tahu akan ada perbantahan
yang lebih serius dari pikiran saya. Bukankah manusia utuh dia yang punya sisi
ibu dan ayah dalam satu kepribadian, lalu mari kita uji mana yang paling
dominan. Karena tidak mungkin Tuhan salah dalam pengucapan, menciptakan manusia
pertama yang utuh, tanpa belahan yaitu adam. Lalu, ketika iba melihat Adam
harus berjalan sendirian, Ia masuk dalam penciptaan kedua, yaitu Hawa. Ibu dari
segala makhluk. Mana yang lebih masuk telinga? Atau mana yang lebih sulit
diterjemahkan? Terserah. Saya masih menyepakati pikiran saya. Utuh. Saya
manusia. Begitulah.
Lalu. Obrolan
semakin panas dan simpang siur, seorang teman laki-laki masuk ruangan dan
mencoba duduk sebentar. Mendengarkan obrolan. Lalu setelah 10menit, dia izin
pamit. 'Pergi dulu pak, gak kuat' dosenku tertawa, cukup keras. 'Halah, baru
sebentar, ini grace udah hampir dua jam loh' 'ngerti grace? Sayo dak kuek
grace. Pamit yoo' padahal, perbincangan 10menit sebelumnya hanya soal bagaimana
pembagian kerja laki-laki dan perempuan, Saya baru tahu bahwa dalam sebuah
pemerintahan berbentuk kerajaan, Perempuan tidak hanya ada Permaisuri dan selir.
Dan tugas selir tidak semata-mata soal reproduksi dan biarahi. Tapi soal
pembagian tugas dan peran perempuan itu sendiri.
Pada struktur
perempuan dalam kerajaan, ada yang namanya Permaisuri, garwa, selir dan langenan.
ke-empatnya adalah perempuan-perempuan yang dipilih untuk mendampingingi raja.
Terlepas ini menyoal poligami atau yang lainnya. Tapi sebuah kerajaan sama
halnya sebuah negara dengan tugas dan tanggungjawab yang besar, dan kerja
domestikpun tidak bisa hanya dikerjakan satu orang perempuan saja. Untuk itu,
Ada pembagian tugas pada tingkatan perempuan-perempuan dikerajaan. Dan mereka
dipilih berdasarkan naluri dan panggilan hati. Bukan karena hal-hal pribadi.
Entahlah. Saya juga tidak begitu mengerti.
Kedudukan
tertinggi tetap ada pada Permaisuri, Dialah perempuan satu-satunya yang dipilih
raja sebagai teman hidup dan hingga mati. Saya baru ingat, bahwa tidak pernah
ada dua permaisuri dalam satu kerajaan. Iya kan? Permaisuri bertugas sebagai
pendamping raja, dan yang menemani raja dalam segala bentuk upacara dan segala
ritual dan pesta rakyat.
Lalu, garwa, selir
dan langenan punya perannya sendiri. Saya tidak begitu menyerap dengan baik,
tapi saya akan membacanya. Yang pasti, ke empat struktur perempuan itu adalah
lambang pembagian tugas-tugas domestik.
Yang menjadi
pemikiranku sederhana saja, bukankah ke empat struktur perempuan tersebut
adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya perempuan tidak bisa mengerjakan
keseluruhan tugas-tugas domestik? Lantas bagaimana mungkin, perempuan harus
mengasuh anak, membereskan rumah, dan mencuci, memasak, belum lagi harus
menjadi juru bagi keuangan, juru tulis dan catat. Bukankah masing-masing
perempuan atau tiap-tiap manusia punya naluri dan panggilan hidup paling
dominan. Dan jika mengerjakan segalanya secara sendirian berarti memaksakan
keterbatasan fisik manusia.
'Berarti bisa dong
pak, makek fenomena struktur perempuan kerajaan, di komper dengan lahirnya
gerakan-gerakan perempuan, feminis, gender? bahwa sebenarnya manusia utuh, baik
laki-laki dan perempuan sebenarnya tidak bisa dipaksakan untuk mengerjakan
tugas-tugas yang disepakati oleh struktur sosial?' Tanyaku, kali ini serius
sekali. Karena sejarah yang baru disampaikannya menurutku adalah salah satu
bukti paling konkrit. Lantas,kenapa pembagian peran saat ini kita persoalkan.
Padahal, itu sudah terjadi sejak zaman dahulu. Tidak hanya pembagian peran
laki-laki dan perempuan, tapi juga perempuan dengan perempuan. Lantas yang
paling tahu apa yang paling dominan dalam diri kita adalah diri kita sendiri.
Begitu kan? 'Lah, tidak bisa grace. Karena itukan sistem kerajaan,dan kerajaan
itu luas, makanya ada pembagian tugas dan fungsi' jawabnya. 'Lah,tapikan
pemilihan garwa, selir dan langenan itu
tida juga sembarangan pak. Raja dan pihak kerajaan juga pasti memilki
pertimbangan apa yang paling dominan pada tiap-tiap pribadi mereka. Seperti
garwa yang tugasnya sebagai penjaga, dan perempuan tangguh. Yang menjaga raja
dari orang-orang yang tidak menyukai lantas berbuat jahat. Dilihat dari
tugasnya, seorang garwa adalah perempuan ayu yang maskulin kan?' Aku seperti
mendapat bola api, membuat pembahasan semakin panas dan beliau memperbaiki
posisi duduknya. Semakin serius. 'Iya, memang begitu seharusnya. Saya sebagai
laki-laki, dan juga suami (yang baik) tidak akan santainya merokok dan ngopi,
kalau lihat istriku yang lagi hamil mencuci pakaian, sambil memasak. saya tidak
akan jadi manusia utuh tanpa dia, berarti saya harus membagi diri saya sebagai
penolong untuk tugas rumah kami berdua' katanya. Dia masih kukuh dengan
pendapatnya bahwa manusia utuh adalah mereka yang sudah memiliki hubungan
emosional dan rasional, jasmani dan rohani. Ya itu. Semacam ikatan suami dan
istri.
'Gini grace, coba
kamu pikir. Kalau kamu tanya istriku loh ya, iklas gak dia kalau ada perempuan
lain yang mau masakin buat aku? Dia justru milih buat gak kerja lagi, buat
fokus ngurus aku sama anak. Ketimbang dia harus bayar orang lain buat ngasuh
anak, ntar anak lebih sayang sama yang ngasuh, ditambah suaminya juga ntar mepet,
karena ketemu sama pengasuh aja, gimana?' Lah, saya mingkem lagi. Tapi tidak
diam sebenarnya. Pikiran saya tetap bekerja, hanya cara membantah saja belum
begitu cerdas. Masih kurang baca. Mungkin saja. 'Gimana?' Tanyanya lagi.
'Gimana kalau saya gak suka masak, atau tepatnya saya gak bisa masak, karena
tidak ada unsur naluriah memasak dalam diri saya, tapi saya harus bisa memasak
sebagai syarat utama jadi istri? Persoalnnya kan disitu. Budaya kita menuntut
bukan membangun,ya dengan terpaksa saya harus ikut syarat masyarakat untuk bisa
di anggap sebagai istri yang baik. Padahal seharusnya, saya memasak itu karena
saya suka memasak, bukan karena saya perempuan dan saya HARUS pinter masakkan?'
Bantahku.
Yang paling
menyebalkan dari diskusi ini adalah 'terus masalahnya dimana sih grace? Budaya
kita tidak mengenal pembagian tugas grace. Itu istilah barat. Kalau budaya kita
yang ada adalah Naluri, hati, panggilan
alam. Coba besok-besok kalau penyuluhan atau berdayain perempuan-perempuan desa
jangan pakek istilah pembagian tugas, karena itu soal apa yang paling dominan
dan juga apa yang paling diperlukan dan seberapa besar kita mau belajar untuk
mengerjakannya. Toh, kalau gak bisa masak juga, kalau belajar bisa kan?haahhhaha'
dia tertawa. Baik saya ataupun dia sebenarnya sudah sama-sama mengerti, saya
tahu betul, kajian budaya mengharapkan pertahanan nilai-nilai yang sudah
dibangun secara filosofis, dan memiliki maksud dan tujuannya. Dan yang lebih
penting dan pasti, pendekatannya menggunakan aspek budaya lokal, tidak barat.
Hahaaha. Sial.
'Gini aja grace,
bagaimana kamu tahu. Kalau perempuan itu dalam masalah?' Tanyanya. 'Lihat dari
data, berita dan fenomena6enomena yang terjadi. Tidak jauh-jauh pak.
Orang-orang terdekat' jawabku. 'Gimana kalau peningkatan kasus kekerasan itu
bersumber dari proyek pemberdayaan itu?' Saya cukup paham. Beliau tidak pernah
dan tidak mau bersentuhan dengan lsm. 'Lah, sebelumnya mereka gak sadar, atau
gak tahu harus ngapain, saat terjadi kekerasan, setelah diberi tahu, baru
mereka sadar dan tahu bahwa yang terjadi selama ini adalah bentuk-bentuk
kekerasan. Dan itu sudah terjadi lama' jawabku. 'Atau bagaimana kalau
sebenarnya perempuan jadi lebai, dikit-dikit kekerasan' katanya lagi. 'Lah,
lebai yang mananya pak? Itu kasus perkosaan, pelecehan masa iya
dilebai-lebaikan' jawabku. Kali ini dengan emosi. Tapi saya harus kuat, karena
jika saya emosi, dia akan tertawa dan memenangkan perbincangan. Walau ini bukan
perihal menang dan kalah, tapi tertawa adalah cara merespon kekonyolan. Dan
saya tidak mau. Saya tarik nafas kuat-kuat. Dan kembali senyum. 'Jadi gini
Grace. Kita harus pintar menyampaikan pesan. Kenapa sih harus pakek pendekatan
asing untuk menggodok persoalan kita? Pendekatannya jangan jauh-jauhlah. Saya
tidak pernah lihat aktifis perempuan yang mau menulis soal perempuan-perempuan
hebat indonesia. Yang dikenal cuma Kartini aja'. Dia sempat menyebutkan dua
nama perempuan yang menjadi panglima perang dalam pertarungan besar. Saya lupa
namanya. 'Perempuan Indonesia itu memang perempuan hebat grace. Apa kamu pernah
lihat gitu, di barat atau di negara mana yang perempuannya berkebun? menyapu
sambil menggendong bayi? Membuka lahan? Berjalan pakek beronang berisi kayu bakar?
Di luar negeri mana ada, yang ada cuma di Indonesia. Dan itu ke khasannya.
Perempuan Indonesia itu memang tangguh sejak lahir Grace. Nalurinya memang
tangguh. Lalu, kamu mau mengkaji fenomena itu pakek teori gender? Mana kena'
dia tertawa, kembali menghisap rokoknya. 'Persoalannya itu bagaimana kamu
mengkaji persoalan lokal dengan pendekatan lokal juga. Nah, PR mu tu cari
sejarah Perempuan-perempuan tangguh di Indonesia, jangan cuma Kartini'
Waktu berlalu,
perbincangan cukup hangat, materi obrolan hampir habis. Beliau masih diam
sebentar, saya tahu kalau dia masih ingin mencari bahan baru.
'Oh ya,
dimana-mana lagi musim sosialisasi ya. Tapi yang kita tahu itu dari barat.
Penambahan energi. Kamu tahu gak, kalau sistem itu sudah kita pakek sejak zaman
kerajaan dulu. Kamu tahu suluh? Suluh itu cahaya, penerang, dan sistem
penyuluhan itu sudah lama sekali, tapi sekarang muncul dengan nama yang sama,
bentuk yang sama, tapi sumber berbeda. Kayak yang sering kamu kerjain tu, biar
perempuan semakin berdaya.haahaha. Kita tu cuma sering lupa, cuma perlu
diingetin aja. Gak perlu lagi itu pemberdayaan-pemberdayaan. Bisa cari uang
50ribu udah berdaya. Bisa idup apa sama uang segitu? Yayaya. Gak usah dijawab'
dia senang sekali buat panas. Tapi saya tahu, waktu bertemu dengan beliau adalah
waktu yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Untuk menguji diri dan untuk
mengkonfirmasi apa yang gagal dan apa yang harus saya kerjakan. Kami terbiasa
untuk tidak berdebat. Saya ingat dulu 'kalau mau berdebat sama lawanmu, kalau
sama kawan diskusi. Akhirannyakan bukan siapa yang menang, tapi apa yang harus
kita pikirkan dan kerjakan' begitulah.
Waktu berputar
begitu cepat. Sepertinya pertemuan harus diakhiri. Dan nanti dilanjuti jika
kesempatan tepat waktu.
April sudah hampir
habis. Kamu sedang apa?
#RuagTunggu #RumahPerteduhan #LorongBaca #KamarTakbernomor #LampuJalan
Selasa, 14 April 2015
#RuagTunggu #RumahPerteduhan #LorongBaca #KamarTakbernomor #LampuJalan
Selasa, 14 April 2015
Komentar
Posting Komentar