Tuhan tidak pernah berbahagia melihat saya terluka.

Saya seperti kehilangan cinta. Ada yang lepas dari genggaman, dan tidak akan kembali. Sepertinya memang harus menerima, dan kehilangan berkali-kali adalah ujian paling berani. Paling tidak, saya harus mengakui, bahwa cinta tidak bisa disembunyikan, lalu diabaikan, tidak bisa. Bahwa cinta harus berbalas dan mendapat respon, baik ataupun buruk. Tidak ada yang boleh disembunyikan. Karena hati terlalu kecil untuk menyembunyikan cinta yang begitu besar.

Bukan soal, kau berharap lebih besar dari cinta itu sendiri bukan. Tapi soal betapa keluh dan gigilnya jika cinta hanya kita nikmati seorang diri. Dan itu sunyi sekali. Ada baiknya memang berbagi, toh mengutarakan cinta adalah kebaikan, karena tidak pernah ada yang salah dari itu. Hanya persoalan siap atau tidak, menerima balasannya. Karena tidak selalu semua terwujud sesuai keinginan.

Seperti ada yang hilang dari pikiran, dan seperti ada yang tidak sinkron antara penglihatan dan perasaan, saya mulai merasakan betapa hambarnya hidup tanpa berharap, dan betapa tidak menariknya kesempatan tanpa dendam. Bukankah, masing-masing orang harus mengerti untuk apa dia hidup dan bagaimana dia harus mati. Mungkinkah, kematian datang dengan izin lalu kita bisa memilih bagaimana cara mati terbaik? Tidak. Tapi toh kesempatan selalu tahu kapan dia harus dipergunakan, dan waktu selalu hadir tepat saat dibutuhkan.

Lalu cinta? Entahlah, saya baru sadar bahwa sebenarnya saya sedang mendendam, dan tidak ingin membuka celah untuk melukai diri sendiri terlebih dulu. Saya seperti kehilangan nyali untuk bersikap berani. Cinta begitu menyakitkan untuk dikisahkan, dan begitu baiknya untuk dicatat.

Lalu apa yang sebaik-baiknya kita sampaikan, saat seolah-olah kita bertemu manusia baru dengan cinta yang entah juga untuk siapa. Ini bukan soal perasaan yang menggebu-gebu dan jauh dari kebenaran logika, tapi ini soal sisi kemanusiaan yang harus disadarkan, bahwa ada satu bagian dalam hidup seseorang untuk berelasi. Kepada siapapun Tuhan merestui.

Pantai dan ombak selalu jadi yang paling setia bergemuruh di lautan, dan matahari selalu datang tepat waktu. Lalu Tuhan? Apakah Ia mengizinkan manusia terluka seumur hidupnya? Tentu saja tidak. Ia mengajarkan keberanian untuk bangun, dan berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Dan tidak sekalipun ia biarkan pantai tanpa ombak, dan pagi tanpa matahari. Mungkin juga begitu yang harus saya yakini, bahwa Tuhan tidak pernah berbahagia melihat saya terluka.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Dialog Murid dan Guru (Lama yang Baru Tiba)

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang