Adik perempuan, Anak Rimba, dan Pertanyaan Yang Butuh Jawaban


Saya teringat, akan gelisah seorang adik perempuan beberapa jam yang lalu, sebelum malam berkunjung. 
pertanyaannya sederhana, "Kak, adakah hal yang membuat kita benar benar tampak berbeda dengan orang- orang kubu atau rimba ?", ku jawab saja seadanya, "ada, Cinta, ide, dan cara".
aku punya alasan menuliskannya, yang membuat manusa seperti kita berbeda dengan mereka, adalan cinta. ya, cinta, karena mereka punya cinta yang lebih besar dari apa yang kita timbang- timbang selama ini. mereka punya cinta yang lebih besar untuk pohon, tanah, dan bumi.

alasan kedua, ide. ya ide, manusia seperti kita terlalu banyak ide untuk membuat (seolah- olah) bumi tampak lebih cantik ketimbang keadaan semulanya, sehingga membuat apapun yang terlihat jadi campur aduk, sementara mereka hanya punya satu ide, dan itu pun mereka simpan dalam perbuatan- perbuatan, yaitu sikap menjaganya seperti sediakala Tuhan mencipta, tanpa mengubah- ubah sedikitpun.

alasan ketiga, kusebutkan cara. ya, cara menjaganya untuk tetap utuh, sementara kita, mencari banyak cara untuk membuatnya tak berbentuk. akh. ini kesialan keberapa kali yang harus kita hadapi? entahlah.
pertanyaan selanjutnya, yang membuat suasan hati tampak bergejolak, "Kak, apakah harusnya mereka memiliki hak yang sama seperti kita ? Hak untuk mendapat jaminan pendidikan,kesehatan,ekonomi dan politk ?", benar dugaan ku, sepertinya ia sedang gelisah sekali. mengingat anak- anak rimba yang semakin sulit menemukan hutannya.

aku tidak begitu paham akan suasana hatinya, begitu juga hati anak- anak rimba yang sedang kewalahan mengungsikan diri mencari hutan perteduhan yang bisa menerima mereka tapa harus di gusur ulang.
ku jawab sebisaku, "aku selalu patah hati, saat berbicara keidealan karena sebenarnya, masng- masing kita sudah tahu jawabannya, bahwa SETIAP warga negara mendapatkan kesempatan yang sama, hak yang sama, dan perhatian yang sama", ya ku jawab saja begitu. karena memang begitulah adanya. 

kita selalu terjebak dengan kata keadilan dan kemeretaan. tanpa memandang tradisi dan budaya yang di masing- masing wilayah punya angka sendiri- sendiri untuk menjumlahkanya. sementara, kita tetap ngotot ingin menyeragamkan mereka, bahkan memberi embel- embel kubu dengan nilai yang negatif. seolah- olah, yang tradisional itu negatif, seolah- olah, nilai- nilai alam yang sejak dulu mereka pegang terkesan kuno dan tertinggal, sehingga kita punya hak untuk memaksa mereka mengejar ketertinggalannya. siapa yang bodoh sebenarnya?

hingga pada akhirnya, kumunculkan juga pertanyaanan yang sederhana, "kau kenapa?", tapi dia tetap lajut dengan pertanyaan berikutnya, aku tahu, ini mungkin sudah akut di kepalanya. dia butuh teman sepantar untuk berbagi,dan mengorek isi kepala, tapi di zaman ini, kebanyakan dari mereka lebih memilih ke tempat yang tak perlu menghabiskan banyak energi, pikiran dan hati. dan dia kehilangan lawan bicara yang sepadan. aku akui saja, bahwa dia memang adik perempuan yang berbeda sekali dari adik- adik yang lain. "Terus, apakah mereka orang- orang kubu dan rimba harus menjadi 'seperti' kita agar hidupnya terpaksa mendapat jaminan yang layak ditempat yang sama dengan yang kita pijak.?" tanya nya lagi, tanpa menjawab pertanyaan ku. 

akh, kujawab dengan teriakan, "TIDAK", ya,karena memang tidak seperti itu seharusnya." pemaknaan itu yang disalahpahamkan sistem kita. kita selalu memaknai keberagaman dengan penyeragaman dan bahkan mengabsteinkan kehadiran yang minoritas, yang dipedalaman, yang tradisionil, yang sedikit, yang (seolah-olah) tidak terjangkau seolah- olah, solusi memberi kesempatan yang sama, di artikan dengan memberikan angka- angka dan nilai yang sama padahal, kita Indonesia. dimana sabang sampai merauke itu punya nilai dan angka- angkanya sendiri ,akh".
dia lanjutkan lagi, seolah- olah sedang bermonolog. jawaban- jawabanku dihiraukan entah dipikirkannya, dia lanjutkan dengan kata- kata yang sepertinya kesimpulan sementara bagi gelisahnya. "Orang kubu dan rimba semakin tersudutkan kak, setiap tahun akan ada saja hutan yang menjadi lahan untuk sebuah alasan solusi pengangguran".
iya, kita sama- sama menangkap maksudnya bukan. aku dibuatnya ikut gelisah. sementara isi kepalanya, belum terjawab dengan tuntas. aku tahu dia punya banyak pertanyaan yang harus ia kemukakan. sementara aku,tak punya banyak jawaban untuk menuntaskan. sudah, ku beri solusi terbaik untuk menetralisir hati dan keraguannya. kukenalkan pada seorang kawan yang belum pernah berjabat tangan, namun sering ikut campur dalam perdebatan- perdebatan hangat seputar isu- isu yang mencuat di media sosial. aku tahu betul, dia paham soal rimba, karena pernah suatu ketika, dia mengagung- agungkan rimba pada perdebatan yang sebenarnya tidak ada kaitannya. namun, aku tahu betul, ia konsen soal rimba dan anak- anak yang tinggal di dalamnya. semoga itu solusi. 
walaupun di awal memperkenalkannya, aku tetap di ajak ribut soal perempuan minang dan Rohana Kudus. tapi tak apa, yang penting, ia bersedia menjawab semua pertanyaan yang masih tersangkut di hati serta kepala adik perempuanku tentang rimba. aku tahu, di akhir cerita kami, dia senang sekali. baik adik perempuan ku, ataupun teman yang belum pernah berjabatan itu. aku tahu, mereka saling memahami hati masing- masing. sampai pada akhirnya, temanku juga bertanya, adik perempuanku itu kenapa. 

sepertinya, anak rimba perlu dipahami dan di kaji kembali. apa yang salah dengan pemaknaannya? apa yang salah dengan kata rimba dan kata kubu? kedua kata itu selalu kita konotatifkan dengan sesuatu hal yang berbau masalampau dan tak layak terbit di era kekinian. seolah- olah, yang tradisional itu negatif. seolah- olah yang kubu dan rimba itu tak pantas dan tak layak. seolah- olah, yang tinggal di hutan hanya monyet dan jangkrik. 

siapa kita? manusia- manusia robot yang lupa asal- usul. aku sepakat pada seorang teman yang baru ku kenal pada satu pertemuan.jawabannya sama, mungkin kata- kata yang dipakainya saja yang agak berat. karena dari awal bertemu, dia memang pandai berdebat. "Logika-logika yang dipakai oleh para jajaran birokrat itu yang perlu dikritisi. Memang begitu akut kondisi birokrat kita ini. Kalau membahasny lebih jauh sebenrnya ini ada sangkut pautnya dengan sistem ekonomi kapital, bagaimana kemudian para kapitalis berusaha melanggengkan usahanya dengan mendekati birokrat (birokrat yang melacurkan diri ke kapitalis / malah birokrat itulah kapitalisnya). Kegiatan penggundulan hutan itu merupakan kegiatan yang sarat dengan kepentingan kapitalis. Mereka sering mendengungkan bahwa masyarakat rimba itu kolot, terbelakang. Padahal logika seperti itu keliru. Yang mereka (Kapitalis) inginkan sebenarnya yakni mengeruk pelbagai sumber daya alam kita. Itu merupakan bentuk baru penjajahan - penghisapan terhadap kaum miskin." dia tambahkan juga permintaan maafnya, karena tulisan agak kacau, karena dia sedang berada ditempat gelap. entah, pada saat mati lampu, atau dia sengaja menyepi untuk menghindari cahaya. yang pasti dia ingatkan kembali, bahwa memang itu persoalan yang sudah dirumuska. itu persoalan tanpa jaminan solusi yang kongkrit. sampai kapanpun. dan aku sepakat untuk hal itu.

sepertinya, ia, pemaknaan kata Rimba, kubu, tradisional. dan apa- apa saja yang sama jenisnya kita perlebar dan hadirkan kedunia nyata, dan secara langsung kita tolak penggunaannya hingga kita tolak juga kenyataanya. dan yang lebih sadisnya lagi, kita meyakini, bahwa solusi satu- satunya bagi anak- anak rimba serta orang tuanya, harus dimanusiakan seperti 'idealnya' kita. padahal, itu sama sekali yang bukan mereka butuhkan.

anak- anak rimba butuh hutan, untuk menjaga, untuk dijaga, untuk hidup dan untuk melanjutkan masadepan bernafas dan mendenyutkan nadi mereka. hingga di akhiri juga oleh adik perempuan ku dengan kata- kata yang sering kali ku ucapkan dulu, setelah ku kenalkan pada teman yang belum pernah berkenalan secara langsung itu, "Iya kak, aku mau selesaikan gelisah ku, makasih ya kak sudah menemani siang ini". 

semoga malam ini, dia punya jawaban atas pertanyaan- pertanyaannya, semoga malam ini, hujan turun begitu lebat, dan menyuburkan sisa- sisa hutan yang hampir habis di gunduli. semoga malam ini, setelah semua pertanyaan menemukan jawabannya, hati semakin lapang untuk menyadari, bahwa anak rimba hanya butuh hutannya kembali.
selamat malam, kepada kalian yang hari ini memiliki mimpi yang sama untuk anak- anak rimba :)

( #lampujalan  Jun/12 2014)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Dialog Murid dan Guru (Lama yang Baru Tiba)