Pelajaran Bertahan Hidup
aku salah satunya, bertahan di rumah yang siapapun tidak akan bersedia
ada disana. sejak gempa tahun 2000, yang melanda Bengkulu belum
sedikitpun diperbaiki bangunannya hingga beberapa tahun kemudian dan
hingga gempa kesekian. bukan karena tidak mau, hanya saja, tabungan ayam
yang dijanjikan tidak begitu cukup untuk membangunnya utuh seperti
sediakala. ibu memilih untuk membelikannya beras dan lauk persediaan
sebulan ketimbang membangunnya. karena toh, perut harus lebih dahulu
diisi, ketimbagan kenyaman.
Rumah itu, berpintu kayu, yang pengganjalnya sulit sekali untuk di buka
tutup, memiliki dua ruangan kamar tidur, satu kamar mandi, dan ruang
tamu yang cukup memuat 30 orang untuk duduk berdempet- dempetan.
sederhaa sekali. sebuah rumah perumahan kelas yang paling sederhana,
dengan tambahan warung kayu didepan rumah, yang sampai kami meninggalkan
rumah itu, belum juga diisi oleh belanjaan yang mau diperjualbelikan.
Rumah yang setelah gempa melanda, tembok belakangnya bocor parah, dan
ditutupi dengan kayu seadanya, belum lagi retakan dimana- mana, yang
tinggal menunggu runtuh secara utuh. belum lagi atap yang bocor, yang
andai hujan bertahan cukup lama, semua harus mengungsi ke warung kayu
yang ada di depan, karena rumah itu akan terasa bergoyangnya. dan hujan
membanjiri setiap sudut.
aku ingat, kami selalu berdoa, agar hujan dan badai tidak pernah
bertahan lama. karena akan membuat banyak luka, pada mimpi dan harapan-
harapan yang akan segera kami wujudkan. yang paling ngeri, warung kayu
itu bukannya lebih aman dari ruangan pada rumah itu. warung kayu itu
menempel langsung ke bagian depan rumah, yang dindingnya juga tidak
cukup aman untuk bersandar, pada bagian atas, ada batako yang tinggal
ditiup pakai mulut, bisa jatuh dan menimpa kepala siapa saja yang tidak
mau hati-hati. sela- sela dinding, di silangi papan untuk menahan
dinding, kalau- kalau ada badai yang kuat, agar tidak menimpa penghuni.
itu ruangan rahasia bagi kami, karena setelah gempa, ruangan itu jadi
tempat bernyanyi, tempat melelapkan diri, tempat belajar, tempat
merenungi nasib dan tempat mengeja setiap hurup dan angka sebagai tugas
sekolah. juga sesekali jadi ruang makan.
ukurannya sederhana, 2x3 meter, yang pengap sekali. disana semua benda
diletakkan. karena hanya disanalah ruangan paling aman, dibanding ruang-
ruang dalam rumah yang cukup mengerikan. ia, ruang itu berwarna biru
putih dari luar, macam warna sebuah partai, bila ku bandingkan dengan
masa sekarang. tapi waktu itu, aku tahu betul, kalau bapakku bukan mau
kampanye, dia kurang paham soal warna- warna partai. di dalamnya
berwarna kayu, tanpa diberi cat. karena dengan mengecatnya akan
membutuhkan uang yang cukup seberapa. dan lagi- lagi, perut harus lebih
penting diisi.
rumah itu, adalah rumah dimana ke empat anak perempuan, dan seorang anak
laki- laki mulai membangun mimpinya sendiri- sendiri, dan tempat
seorang bapak dan seorang ibu terus merasa khawatir akan mimpi
anak-anaknya. tempat dimana masng- masing diri, harus belajar lebih kuat
dari kawan bermainnya, tempat dimana masing- masing diri harus belajar
jadi yang lebih kuat dari sebayanya.
Rumah itu, mengajarkan banyak hal, tentang kewaspadaan, yang kapan saja
bisa menyerang siapapun yang lupa, kalau rumah itu akan roboh dengan
sendirinya. rumah yang aku ingat betul, tidak mau berlama- lama di
dalamnya. bukan karena tidak betah, tapi karena takut, kalau- kalau ada
angin kencag, dan roboh seketika. rumah itu sederhana sekali, aku ingat
betul, ada tungku di belakangnya, karena minyak tanah begitu mahal dari
biasanya. kami mengalami kelangkaan, dan harus memasak di tungku yang
kayu, yang menghidupkan apinya saja harus pakai karet ban yang didapat
bapak entah dari mana. dan yang paling malangnya, kami tidak punya
pilihan lain, selain menikmatinya.
rumah yang retak pada setiap sudut dindingnya itu, rumahku dulu. sejak
menginjak bangku TK hingga masuk pada sekolah menengah pertama. itu
rumahku. dimana malu, takut dan wanti- wanti selalu meraja kemana- mana.
takut,kalau- kalau ada teman yang iseng meminta main kesana, dan
rasanya seperti hati yang diirisi pisau tajam lalu diasami. sakit dan
pedih sekali. belum lagi pertarungan menolak dengan alasan berbagai
macam dan cara untuk mengatakan nanti atau tidak. bukan karena apa- apa,
aku takut sekali di buat malu, takut sekali di ejek, takut sekali di
buat luka, karena semuanya sudah cukup lama terhidang di meja makan dan
angan. aku tak mau mengulang- ulangnya lagi.
tapi,tidak begitu dengan kakakku, dia dengan bangga selalu mengajak
temannya ke rumah retak dengan atap bocor dimana- mana. tanpa malu,
tanpa takut dan tanpa perlu menjelaskan apa- apa. dan aku tahu betul
teman- temannya selalu datang dan menikmati sajian hidangan buah- buahan
di halaman, tanpa perlu mengejek, tanpa perlu malu dan tanpa
antisipasi. pelajaran berharga waktu itu, aku memang tidak perlu takut
dan khawatir, kalau- kalau temaku berubah pikiran karena kemiskinan, aku
justru harus senang kala mereka ingin sekali datang dan memberi diri
meminum air yang dihidangkan ibu dan menikmati buah dan bunga- bunga
dihalaman sambil berteduh dengan tikar yang dibentangkan.
dari situ, aku belajar, untuk tidak lagi malu, untuk tidak lagi takut
untuk tidak lagi peduli apa yang orang lain persoalkan dari nasib dan
keadaan. karena toh, kami juga tidak punya pilihan untuk membantah,
selain mengiyakan dan menikmati sajian Tuhan, dan ia, kami menikmatinya
dengan bangga. bahwa lima orang manusia lahir merdeka denga cinta.
mimpinya beragam, bakatnya beragam, cita- citanya beragam. hanya
semangat dan tekadnya untul benar- benar menjadi manusia yang selalu
sama.
dari rumah retak itu, ada banyak sekali cerita, petuah dan mimpi- mimpi
yang selalu kami dengarkan, karena bapak kami pendongeng yang ulung. dia
bisa membuat siapapun yang mendengarkan ceritanya ikut menangis dan
tertawa sejadi- jadinya. ya dari rumah retak itu semua bermula. dari
rumah retak itu semua cinta menyebar, dari rumah retak itu semua harapan
seakan nyata sekali adanya. dan dari rumah retak itu, semua kami mulai
sejadinya.
belajar untuk tetap bertahan dalam ketiadaan, dalam ketidaksanggupan,
dalam ketidak mampuan, dalam kekurangan, dalam kelukaan, dalam kesesakan
dan lebih ngeri, kami harus bertahan dalam kelaparan sesekali. tapi
toh, kami hidup juga. hingga tulisan ini selesai, kami semua sudah
berjuang dengan cara masng- masing, dengan tekad masing- masing, dengan
kemampuan masing- masing.
cerita- cerita bapak sekarang tinggal tetap diingatan, tidak akan
hilang, tidak akan berkurang, karena sudah menyatu ke nadir, ke getir
bahkan ke derap jantung yang menggebu- gebu.
hingga pada akhirnya, toh,kami juga harus meninggalkan rumah retak itu,
tanpa alasan- alasan yang tidak begitu jelas. entah itu nasib baik atau
buruk, kami tinggalkan juga rumah itu dengan terpaksa. denga harapan
yang sama, untuk punya rumah sederhana. rumah perteduhan yang menjadi
tempat bagi kepulangan kami.
kepada setiap luka yang membekas sampai saat ini, aku hanya mau katakan,
lima manusia yang dibesarkan dengan rebusan mi kuah dan beberapa suap
nas, sudah menjadi manusia.
( #lampujalan Jun/14 2014)
Komentar
Posting Komentar