Merawat Bumi, Sampah Adalah Persoalan Pribadi
Bukan saatnya menggerutu, ketika apa yang kita namai bencana tiba. Banjir. Gunung meletus, gempa bumi, longsor, dan bahkan yang paling ngeri ketika tsunami membersihakn D.i Aceh beberapa tahun silam. Saya ingat betul, isi sebuah tautan twitter dari seorang sejarawan dan seniman, seorang dalang ternama bernama Sudjiwo tedjo mengatakan kira- kira seperti ini, “Orang yang bilang kalau banjir itu bencana alam adalah orang gila”. Iya, seolah- olah, kita berhak mengeluh, kita berhak protes, kita berhak marah- marah saat kejadian yang kita beri judul bencana itu tiba.
Pertanyaan paling penting yang harus kita jawab hari ini adalah, apakah banjir itu bencana? Longsor itu bencana ? gunung meletus itu bencana?
Mungkin, nyanyian sederhana yang semua orang tahu liriknya ada benarnya “Mungkin alam mulai enggan bersahabat dengan kita. Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang” (Ebiet G. ade, nyanyian kepada kawan). Iya, kalau itu saya sepakat, bahwa yang berhak marah, yang berhak protes, yang berhak menuntut adalah alam yang pasti dulunya dicipta dengan begitu baik. Semesta adalah buah karya Sang Maha, yang segalasesuatunya diciptakan baik. Tuhan tidak akan keliru, menciptakan Gunung aktif, dan saat itu mengguncang Kelud dan Sinabung, kita berhak untuk berkeluh kesah, kita berhak mempertanyakan keberdaan Tuhan yang adalah sang Maha, kita berhak untuk tidak bersyukur atas apa yang menimpa keluarga, saudara dan orang- orang yang kita kasihi. Bukankah itu adalah bukti, bahwa tidak ada satupun yang mampu mencipta bebatuan yang menggunung dan menghancurkannya persekian detik dari rasa bangga kita terhadap diri kita sendiri. Lalu apa yang sedang kita banggakan?
Ada baiknya, mungkin Tuhan sedang memberi kita waktu untuk berkaca. tidakkah keliru apa yang terjadi dengan apa yang kita rasa. Semua merasa kehilangan? Iya. Semua merasa berduka? Iya. Semua merasa ketakutan? Iya. Tapi apakah semua berkaca? Tidak. Ada warga yang marah- marah pada jokowi dan ahok saat banjir melanda kawasannya dan bantuan tidak kunjung tiba. Ada seorang ibu yang menjerit- jerit menangis saat sinabung merusak jadwal panennya, ada bapak yang emosi saat diwawancara, ketika gempa menghancurkan rumahnya. Ada keluarga yang marah saat longsor menimpa rumahnya yang kebetulan tepat di hadapan longsor bersumber.
Ayo cek, apakah kita pikir, bahwa banjir itu akibat tidak berkualitasnya pekerjaan dan program Jokowi- Ahok selama lebih dari satu tahun menjabat jadi orang nomor satu se Jakarta? Apakah
Longsor di sibolga adalah kesalahan bupatinya? Apakah letusan kelud dan sinabung adalah kesalahan saya yang menulisi tulisan ini?
Setelah semua terjadi, apakah yang tersisa hanyalah keluh? Yang kita namai bencana adalah semua yang terjadi akibat ulah kita sendiri, kita tebangi pohon sesuaknya, tanpa menanamnya kembali, abrasi meningkat, erosi muncul. Kita buang sampah dapur ke hutan, kita buang sampah pabrik ke sungai, kita buang sampah bungkus permen dijalananan. Kita buang sesuaknya. Tanpa kita sadari, sampah yang menumpuk di belakang rumah, di pinggir- pinggir jalan. Di tong- tong sampah yang bertumpahan, di jalan- jalan raya, di selokan- selokan dan di sungai- sungai bahkan di pantai adalah sampah yang diam- diam kita buang, tanpa dilihat petugas kebersihan. Padahal biasanya papan kayu yang biasanya ditancapkan sudah jelas kata- katanya, “DILARANG BUANG SAMPAH DISINI!”
Alam adalah keseluruhan dari muka bumi yang memang sudah sepatutnya kita cintai. Mencintai yang sederhana dengan cara yang sederhana, namun ketika konsisten mengerjakannya, sesuatu yang sederhana akan terlihat luar biasa. Semua orang bertanggungjawab menjaga dirinya sendiri dan menjaga tempat dimana ia berpijak. Alam adalah semua. Tapi, kenapa mahasiswa pecinta alam hanya pergi ke gunung dan ke hutan? Dan sebagian besar dari mereka adalah orang yang membuang sampah di gunung- gunung dan hutan. Lalu apa makna pecinta alam? Secara sederhana, saya memaknainya dengan Orang yang mencintai alam, lalu alam yang mana? Apakah alam hanya hutan dan gunung?
Minggu ini, saya mencoba memikirkan mimpi yang sederhana, sebagai wujud cinta pada bumi yang luas ini. Memang sepertinya mustahil, tapi mungkin. Begitulah. Saat mimpi itu hadir, saya tidak yakin ingin memulainya. Terlebih, tantangan dunia begitu mengerikan, tapi saya percaya, ketika saya konsisten, mimpi itu akan terwujud.
Bengkulu Bersih!
Jargon sederhana, dan sering sekali kita baca dan dengar, terlebih, ini merupakan salah satu program walikota Bengkulu yang baru- baru ini marak sekali dikampanyekan, lewat spanduk spanduk dan baliho- baliho yang ternyata lebih mengotori, bukan membersihkan. Bagaimana tidak, mengkampanyekan Bengkulu bersih dengan menempelkan poster- poster, spanduk, dan terlebih menancapkan baliho- baliho di tempat- tempat umum dan disepanjang jalan, malah memberi kesan bahwa Bengkulu harus ditata ulang. Karena angka pada baliho lebih besar dari pada tulisan.
Saya ingat betul, ketika mendengarkan seorang dosen mengajar di kelas perkuliahan, bahkan di Singapore ataupun di Amerika sekalipun, ada tempat- tempat khusus untuk menempelkan poster dan spanduk dengan menggunakan warna dan kata- kata yang tidak memiliki unsur- unsur politis. Mereka memilih warna netral non partai untuk mengkampanyekan segalasesautu, dan terwujudlah singapora sehat dan bersih.
Bagaimana dengan Bengkulu Bersih?
Ditambah lagi, ini tahun politik yang hampir setiap wilayahnya sudah dipasang stiker- stiker dan poster- poster yang bertuliskan nomor urut dan pose cantik dan ganteng calon- calon legislative yang sepertinya maksa sekali mau dipilih. Padahal setahu saya, kita belum masuk tahap kampanye toh?
Bengkulu Bersih?
Ah, saya sempat putus asa memikirkannya, saya sempat tidak percaya, bagaimana mungkin, menyadarkan masyarakat dengan tidak membuang sampah sembaragan sementara kita dengan entengnya melepaskan sampah dari tangan saat selesai menghabiska isi makanan ringan yang kita beli saat jajan.
Tapi, saya cinta. Dan saya mau melakukan sesuatu. Saya percaya bahwa sesuatu yang dilakukan terus menerus akan berdampak ketika kita memang berkomitmen untuk itu. Lahirlah ide “satu hari satu kantong sampah”, dan itu tidak akan di mulai dari orang lain, tetapi dari diri saya sendiri. Mencintai bumi, tidaklah sesederhana kata- kata yang terucap dan tertulis.tetapi memang butuh penyadaran yang tumbuh dalam diri untuk melakukannya.
Teorinya sederhana, jika ada 10.000 sampah, ketika saya ambil satu sampah, ia akan berjumlah 9999 sampah. Satu sampah memang tidak membawa pengaruh apa- apa, karena masih ada banyak lagi sampah yang tersisa, tapi coba kita perhatikan. Nominalnya berkurangkan?
Iya, begitulah saya memulainya. Memang harapan masih begitu jauh, karena sampah adalah sisa dari semua aktifitas yang di kerjakan semua orang secara rutin dengan hitungan menit.dan kita harus bekerja keras untuk kembali memungutnya.
Gerakan satu hari satu kantong sampah adalah salah satu cara, dan itu tidak akan berlaku pada orang yang menyepelekan sampah. Iya, pada awalnya saya memang merasa jadi orang gila. Ketika semua orang berpakaian rapi di kampus, saya dan beberapa orang teman saya yang hari itu sepakat untuk mungut sampah di kampus merasa aneh sendiri. Karena waktu itu masih pagi, dan kami masih kenakan pakaian tidur dan belum mandi. Kami bersih- bersih, sementara yang lain sudah rapi. Tapi, apa yang salah dari memungut sampah? Tidak ada. Yang salah adalah ketika ada sampah, dan kita dengan entengnya membuangnya lagi dengan sembarangan dan berharap petugas kebersihan memungutinya untuk kita. Itu sampah siapa? Alasannya sederhana, kita sudah terbiasa untuk berlaku tidak baik, sehingga sulit melakukannya. Apakah ,memungut sampah akan mengurangi kecantikan? Apakah memungut sampah akan mengurangi kecerdasan? Apakah memungut sampah akan mengurangi citra baik? Bukankah memungut sampah itu sesuatu yang baik? Lalu, apa yang salah dengan berbuat baik. Bukankah yang tidak baik itu membuang sampah sembarangan? Lalu apa yang sedang kita tunggu? Malu? Apakah memungut sampah adalah sesuatu yang memalukan? Malulah saat orang lain memungut sampah yang baru saja kita buang, tepat dihadapan kita.
Sabtu tertanggal 22 February 2014 yang lalu, saya dan beberapa teman sepakat untuk membersihkan halaman kampus tercinta, Universitas Bengkulu. Iya, untuk mencintai bumi yang luas ini, saya harus memulainya dari kampus yang cukup luas ini. Pukul 07.00 WIB kami memulainya bersama beberapa orang yang ternyata memiliki mimpi yang sama untuk menjaga bumi.
Ada yang menarik ketika kami membersihkan sampah di sekitar kampus, ada sebuah pos jaga pada gedung kuliah yang setiap hari jadi tempat nongkorngnya mahasiswa- mahasiswi sekeluarnya dari kuliah. Dan saya setiap hari lewat di depannya. Saya tidak menyangka, bahwa pos tersebut berisi sampah yang sudah menumpuk. Saya tidak menyangka disitu ada gunungan sampah, karena saya melihat mahasiswa setiap hari duduk- duduk di pos itu dan lucunya, mereka nyaman- nyaman saja memanfaatkan pos yang penuh sampah ituu.
Seorang teman saya dengan sigap, membersihkannya, mengangkat meja pos yang ada di dalamnya. Dan mengeluarkan sampah yang ada di pos. iya, walaupun menggunung, saat sampah itu di ambil sedikit- sedikit, ia bersih juga. Dan pos itu bersih dari sampah. Itu hanya tentang pos jaga, tapi saya mengambil nilai penting didalamnya, bahwa tanpa ada orang yang menggerakkan, orang- orang akan tetap nyaman dengan keadaan tersebut. Dan andai tidak dibersihkan, saya percaya bahwa suatu hari, pos jaga itu akan menjadi tempat pembuangan sampah. Esok hari ketika perkuliahan di mulai, saya melihat beberapa orang yang duduk di pos itu asik bercerita dengan yng satu lagi. Semoga mereka menyadari, bahwa pos yag mereka jadikan tempat bersantai sudah tidak bersampah lagi.
Setelah tulisan ini selesai, saya tidak akan berkompromi lagi untuk sesuatu yang baik. Ia, memungut sampah itu baik dan sesuatu yang baik itu harus dibudayakan. Penyadaran tidak bisa dilakukan sekaligus kepada seluruh masyarakat. Tapi dengan tahap dan mulailah dari diri kita sendiri. Saya sudah memulainya, bagaimana dengan anda? Satu hari satu kantong sampah, percayalah, dia memang tidak langsung berdampak, tapi akan mengurangi jumlah. andaipun tidak bisa membersihkan, mulailah untuk tidak membuangnya sembarangan.
Cintai bumi, cintai sampah
#RumahPerteduhan #LorongBaca #KamarTakBernomor #LampuJalan
Maret' 01 2014
Maret' 01 2014
Komentar
Posting Komentar