Si Penunggu Hujan

Aku ingat betul, kala sore mulai menjemput, dan langit masih setia pada awan- awan putih dan matahari, ada sebagian orang yang berbahagia karena bisa berbuat lebih banyak dari biasanya. Seperti halnya tukang es keliling yang bahagia, saat matahari mulai terik sekali. Penanda yang sempurna bahwa hari ini, jualannya akan laku keras. Ada juga yang dengan bangganya berjemur dimatahari untuk sekalian menghitamkan diri. Ketika sudah tak ada tanda- tanda perubahan cuaca, malam menjemput dengan sendirinya. Semua kembali seperti biasa, senja tenggelam, bintang bertaburan dan cinta yang masih diperjalanan.

Tapi disuatu ruang yang tidak kita ketahui, ada seorang laki-laki yang menunggu hujan dengan setia. Berharap matahari berbaik diri, untuk sebentar saja bersembunyi. Ada kebun ubi yang harus disirami setiap hari, dan hujan harus turun tanpa perlu menunggu lagi.  Tapi Tuhan selalu jadi yang paling maha tahu dalam segala hal. Kita tidak bisa berharap banyak, dan tidak bisa menentukan kapan harus hujan, kapan harus mendung, kapan harus terik sekali. Tapi manusia selalu berkehendak diluar kemampuannya. Selalu merasa jadi pawang saat keinginan tak diwujudkan alam. Lalu lahir lah kedurhakaan. Lahirlah pelarian- pelarian, dan dari situlah kutuk bermunculan.

Laki- laki penunggu hujan, yang tak bernama. Begitulah mulanya. Yang dengan setia menunggu hujan datang meyirami kebunnya. Walau harap selalu jadi paling mustahil untuk dikabulkan. Musim sudah tidak bisa ditebak, dan diperkirakan. Apalagi  diduga-duga. Sudah tidak ada lagi penanda yang baik dan setia, bahkan alam sekalipun. Tapi dia tetap setia menunggu hujan datang mengguyur kebun, jalanan bahkan hatinya.

Laki-laki itu kuberi tanda bintang untuk lebih mudah ditemukan. Seorang teman yang banyak memberi pelajaran. Atau seorang motivator yang tangguh dengan kata-kata dalam tulisannya. Mungkin, hujan bisa menjadi obat dari segala kesakitan yang dirasa. Atau jadi penangkal kecewa akan dunia. Hidup begitu mengerikan untuk dipertanyakan.

Hujan sesekali turun karena hasil terkaan, padahal memang sudah waktunya turun. Tapi, seolah-olah saja hasil percaya dan doa. Padahal Tuhan sudah punya jadwalnya sendiri di surga. Tapi tetap saja, laki-laki itu harus percaya. Karena agama mengajarkannya untuk berpegang teguh pada apa yang diyakini. Mungkin, setiap manusia juga begitu.

Sesekali, mendung mempermainkan hatinya. Karena harapan dan kenyataan begitu bertentangan. Karena mendung mengandung kemungkinan-kemungkinan yang sulit untuk di aksarakan. Hingga siang bertemu malam, dan malam kembali menghilang, seiring hujan tak kunjung datang. Lalu, saat panas terik serta keputusasaan jadi yang paling sering muncul, hujan mengguyur berbarengan. Ah, alam sudah tidak bisa ditebak. Begitulah yang terjadi.

Pernah suatu kali. Setelah pupuk sudah disematkan pada akar-akar tanah, mesin air yang selalu jadi yang paling pasti, tiba-tiba mati. Tak ada penjelasan panjang, mesin mati. Itu saja. sementara, tanaman belum sempat disiram, dan hujan tak kunjung datang. Aku tahu, hatinya begitu terik dan meleleh. Tanaman keliahatan layu, tanah berdebu dan kehidupan jauh sekali dari sejahtera versi pembukaan undang-undang dasar. Tapi, dia tetap percaya, bahwa hujan akan datang tepat waktunya. Tuhan tidak akan membiarkan tanamannya mati dan terlambat bertumbuh. Sementara, seorang teman yang jauh di pulau tak bernama pernah bertanya, apakah Tuhan itu ada? Aku hanya bisa tertawa. Karena aku beragama, ku iyakan saja dengan bijaksana. Walau membaca sejarah Tuhan, aku pernah mau muntah dan pingsan. Karena tak sanggup menelaah maksudnya. Untuk hal ini, aku percayakan saja sama seperti si penunggu hujan. Tuhan ada dan tiada bagi manusia. Tapi, kenyataannya, nikmat dan berkat selalu terasa. Dan kemungkinan terburuk selalu punya solusi dan akhir yang tidak terduga.

Hingga pada akhirnya, aku juga percaya, bahwa hujan memang akan turun sesuai gilirannya. Karena yang berdoa tidak hanya si penunggu hujan, tapi juga orang-orang yang tidak berharap hujan. Sementara, Tuhan harus adil, biar tidak dikutuk manusia yang memang selalu mau yang baik-baik saja. Ia harus jadi yang paling Maha untuk mencatat dan mencontreng setiap doa. Manusia lupa, bahwa yang baik dan  buruk bernilai sama tapi punya dampak yang berbeda. Manusia lupa, bahwa hujan dan terik bernilai sama, tapi punya tujuan yang berbeda. Semoga si penunggu hujan tidak sama dengan manusia-manusia kebanyakan.

Apa yang tidak paradoks dari kenyataan? Siapa yang menciptakan kemalangan? Siapa yang menciptakan kematian? Siapa yang menciptakan dendam? Siapa yang menciptakan bencana? Siapa yang menciptakan luka?

Manusia selalu berprasangka, bahwa zeus dan lusifer adalah cerita, dongeng dari sejarah yang langka. Karena mereka lahir di kitab-kita paling tua. Sementara Tuhan selalu mendapat tuduhan yang baik-baik saja. manusia lupa, bahwa Lucifer Tuhan yang cipta. Dan Zeus lahir dari pikiran manusia. Dan pikiran manusia, Tuhan juga yang cipta.

Lalu, pikiran semakin berbilit-bilit, hati semakin rumit, kenyataan semakin pahit, dan hujan tak kunjung datang untuk beberapa waktu. Semoga si penunggu hujan tahu, bahwa kebahagiaan dan kelukaan adalah hasil dari olah rasa manusia. Mereka yang ciptakan sendiri, mereka yang mensugesti sendiri, mereka yang menikmati sendiri. Sementara Tuhan, hanya menonton dari surga, sesekali mengintip manusia dari jendela. Atau katanya, Ia pernah menyamar jadi manusia.

Semoga hujan turun benar-benar tepat waktu.
 
( #lampujalan Sep/12 2014 )

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian