Surat-surat, antrian, dan betapa bajingannya birokrasi dan orang-orang di dalamnya
Hari ini saya marah, muak dan
benar-benar mau muntah. Bagaimana mungkin urusan surat menyurat di kantor
catatan sipil harus menunggu seminggu kemudian setelah seharian bolak balik ke
RT, kantor lurah dan camat. Urusannya bertele-tele sekali. Wajar saja Negara
ini menjadi semakin payah, dengan birokrasi yang payah dan orang-orang bajingan
yang ada di dalamnya.
Tadi malam saya ke rumah pak RT
untuk urusan surat pengantar perpindahan penduduk kakak perempuan saya, karena
blangko surat yang terbatas, saya disuruh pak RT untuk pergi mengcopykan terlebih dahulu. Karena urusan
kepentingan, saya pergi, mencari tempat potocopyan.
Setelah berjalan cukup jauh, saya menemukan tempat potocopyan, dan saya keluarkan uang 2000 rupiah serta bensin yang
takarannya belum bisa saya ukur.
Saya kembali ke rumah pak RT.
Sepertinya orang ini adalah orang lelet dan mugkin juga bertele-tele. Berulang
kali penulisan nama, nomor surat ia coreti karena salah. Lalu dibaca
berulang-ulang, dilihat berulang-ulang. (pura-pura) membongkar-bongkar tas
berkasnya berulang-ulang, hingga menyelesaikan surat pengantar sebanyak tiga
lembar yang isiannya di tulis tangan dan diberi tanda tangannya serta cap RT.
Saya pikir selesai, saya menerima tiga lembar surat itu dengan senang hati.
Tapi seperti biasa, urusan birokrasi seukuran RT inipun tidak gratis, saya
harus mengeluarkan uang 22.000,- sebagai biaya administrasi, sebelumnya ia
minta 30.000 untuk tiga surat, karena saya cuma punya segitu, saya tawar.
Sebenarnya saya tidak mau kasih, tapi saya sedang tidak bisa menunggu lama.
Urusan ini harus segera saya selesaikan.
Ya sudah saya iklaskan, saya bayar dan pergi.
Tadi pagi, saya menuju kantor
lurah, saya bertemu seorang ibu muda, dengan satu orang anak kecil yang
dibawanya ke kantor. Sepertinya agak nakal, karena berulang kali ibu itu
meneriaki nama anak itu dari balik jendela. Dia ramah, meladeni saya dengan
senyum. Menanyai saya banyak hal terkait keperluan saya, tepatnya kepentingan
saya. Saya mau urus surat pengantar perpindahan penduduk, penghapusan nama di
kartu keluarga, surat pengantar pembuatan akte lahir, dan surat keterangan
domisili. Dia ladeni dengan baik.
Saya sempat bertanya terkait
surat pengantar SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) dia menjawab ringan “dek, kalau mau ngurus itu sebenarnya harus
ada surat pengantar galo dari RT, ini sayo tolong ajo”. Eh, dari kata ‘sayo tolong ajo’ sudah mulai
mencurigakan, sepertinya kepentingan mulai berbayar. Saya mulai menduga-duga,
dan tidak berburuk sangka. “itu tadikan
ada surat pengantarnya bu”, kata saya menerangkan. “iyolah, yang ini, surat domisili ni, apo lagi ini”. Nah, firasat
mulai tak baik. Ibu muda yang baik mulai tak baik. Dan jelas saja. setelah
surat-surat itu selesai, “bayarnya lima
puluh ribu dek, kan banyak tadi” ibu itu langsung mematok harga, saya mulai
memasang muka tak enak. Sialan sekali. Tapi saya mau cepat, dan tidak ingin
berdebat. Sebelumnya juga saya sudah bilang, saya sudah mulai tidak suka dengan
protesan, kritikan dan yang bertentangan. Entahlah. Saya diam, dan lagi-lagi membayar.
Mengeluarkan uang Rp 50.000,- dari dompet. Dan saya sadarai, waktu itu saya
jadi pecundang sekali. Saya sadari, waktu itu saya membantu ibu itu memperluas
jaringan kebajingan. Saya kalah untuk dua kali episode. Tanpa perlawanan, tanpa
pertentangan. Brengsek memang. Tapi begitulah.
Saya keluar dari kantor lurah, dan
langsung beranjak ke kantor kecamatan untuk penandatangan surat pengantar
domisili. Atas nama pemanfaatan waktu dan kesempatan, saya sekalian tanyakan
saja KTP Elektronik yang sudah sejak setahun lalu di rekam, tapi cetakannya tak
kunjung ada. Dikeluarkan juga surat keterangan KTP sementara, dan sudah ditandatangani
serta di cap oleh pihak kecamatan. Saya disuruh mengcopykan lagi surat keterangan dan kartu keluarga. Saya sempat menanyakan letak tempat potocopyan. “itu ada di ujung perempatan” kata bapak yag bertugas itu. akh,
sialan. Apa iya, tidak ada petugas untuk mengcopykan atau apakah kecamatan memang tidak ada mesin photocopy? ini memang seru sekali, saya
harus sabar. begitulah. Saya tidak punya cukup waktu untuk berdebat dan
mempersoalkan setiap masalah di kantor birokrasi yang payah ini. Lalu saya
pergi juga, saya mengeluarkan uang Rp 1.000,- untuk biaya photocopy. saya kembali ke kantor kecamatan, memberikan potocopyan surat keterangan pada
mbak-mbak yang bertugas, sementara bapak yang tadi meminta saya untuk mengcopy tidak ada. Saya mengambil surat
keterangan perpindahan penduduk dan surat keterangan rekam E-KTP, dan memang
Negara ini Negara yang payah. Mbak-mbak yang meemberi surat itu dengan tanpa
malu bilang “ini dek, baya suka rela ya”,
kill me. Aaaaaaaaaakkkh. Sialan
bukan? (saya gak rela) saya teriak-teriak di dalam hati. Untuk kesekian kalinya
saya jadi pecundang. Saya keluarkan uang Rp 5.000,- , mungkin untuk
kebutuhannya membeli minum, cukup. “Seiklasnya
kan mbak” saya tegaskan sekali lagi.
Saya letakkan uang itu di atas meja, dan surat yang saya butuhkan saya ambil.
Saya lupa, ini kantor Negara atau dinas sosial. Saya pergi dan segera melaju. Saya sungguh
adalah orang yang kalah. Sepagi ini.
Saya langsung menuju Kantor
kependudukan pencatatan sipil. Dalam rencana, saya akan mengurus surat
perpindahan domisili kakak saya, karena birokarsi tempat tujuannya masih
mematikan fungsinya sebagai warga Negara kalau tidak ada surat keterangan
kepindahan, dan itu akan berkaitan dengan pekerjaan, gaji, pelegalan penduduk,
dan urusan birokrasi lainnya. Mungkin yang lebih sialan lagi. Saya juga harus
mengurus surat akte kelahiran. Untuk kepentingan Surat Keterangan catatan
kepolisian, dan mungkin juga untuk surat-surat selanjutnya, bisa jadi kebutuhan
administrasi menikah mungkin. Siapa yang bisa mengira-ngira apa yang terjadi
satu jam ke depan. Selain itu, saya juga harus mengurus perbaikan Kartu Keluarga,
untuk kepentingan pengurusan surat BPJS.
Apa lagi yang lebih penting dari sehat? Negara ini sudah terlanjur
brengsek kepada kami yang miskin ini. dan begitulah mulanya. Saya seorang
penduduk yang (sebenarnya) ingin sekali melengkapi seluruh kebutuhan
administrasi dan pencatatn sipil, sebagai bukti kependudukan dan cinta negara,
selain atas kepentingan pribadi. Saya semangat sekali dari dua hari yang lalu
mempersiapkan segala surat-surat sesuai kebutuhan. Tapi Tuhan dan manusia
memang tidak akan bisa sama, sampai sejauh apapun Colombus berkelana, sampai
sekerunyut apapun otak Einsten difungsikan. Begitu juga dengan niatan,
keinginan dan harapan yang berbanding terbalik dengan kenyataan, dan
kepentingan kita yang berbenturan dengan kepentingan-kepentingan pekerja
birokrasi yang payah ini.
Saya penuhi semua syarat, dan
saya harus menerima kenyataan, bahwa manusia memang lebih suka dengan urusan
yang sangat payah. Padahal, moto kantor kependudukan pencatatn sipil “Kalau Bisa Sehari Mengapa Harus Seminggu” saya
tahu, karena saya baca di ruangan kantor pak basir, yang menangani akte nikah
dan akte lahir. Saya di suruh menunggu sebentar, karena dia lagi keluar.
Mungkin shalat, semoga saja memang shalat.
Sembari menunggu, saya duduk di
antara orang-orang yang mungkin juga menunggu, dan di hadapan saya ada dua
orang pegawai yang duduk ngobrol sambil merokok, sementara di tembok yang
mereka sandari tercatat jelas “ MOHON UNTUK TIDAK MEROKOK DISINI”,
kau tahu, itu sama saja dengan perintah untuk tidak membuka file, dan kau
dengan entengnya membuka, atau larangan untuk tidak telanjang disini, dan kau
dengan entengnya membuka baju dengan cekikikan. Begitulah. Saya mencoba
berpikir sehat, mungkin mereka tidak bisa membaca, tapi kok kalau tidak bisa
membaca bisa jadi pegawai sini, dengan seragam PNS yang sepertinya mereka
memang merasa keren sekali mengenakannya. Saya sempat mendengar obrolan mereka,
bukan menguping, tapi memang mereka memiliki nada suara yang agak kuat,mereka
membahas E-KTP. Dengan sedikit berbisik, satu orang dari mereka senyum-senyum
memberi kode. Yang saya tangkap dari obrolan yang sialan itu adalah, “KALAU KAU PUNYA CUKUP UANG UNTUK MEMBAYAR,
E-KTP YANG KAU TUNGGU DARI TAHUN LALU BISA JADI 5 MENIT KEMUDIAN”, karena
dengan brengseknya, seorang bapak keluar dari ruangan, dan menyelipkan dua atau
tiga E-KTP pada seorang ibu yang juga mengenakan seragam PNS. Iya, hari yang
bajingan. Sementara di luar tadi, empat orang dengan pakaian kaos oblong yang
sepertinya adalah warga biasa hanya mendapat selembar surat keterangan
sementara, sembari menunggu E-KTP dicetak entah kapan. Lalu saya di panggil masuk lagi ke ruang pak
basir, dan dipersilahkan masuk dan duduk, saya mengeluh dulu, lalu dia memberi
syarat yang banyak sekali. Untuk mengurus akte lahir, harus ada akte pernikahan
dari kantor capil (baca, pencatatan sipil), sementara orang tua saya hanya
punya akte kawin dari gereja. Saya pernah tanya sama mamak,dia bilang “zaman dulu mana ada ngurus-ngurus gitu”,
saya percaya saja. dan sekarang, di hadapan pak basir yang menangani urusan
akte nikah dan lahir berbanding terbalik. Dia meminta saya untuk mengurus akte
nikah orang tua saya di kantor capil terlebih dahulu, baru diteruskan dengan
pengurusan akte lahir. Dan kalian tahu, syarat nya membuat saya harus tarik
nafas sekencang-kencangnya, sepertinya saya tidak sanggup. Sepertinya. Tapi
saya ambil juga syarat dan berkas yang mesti diisi, entah kapan mau ngisinya.
Saya keluar dari ruangan, saya
menuju loket tiga, yang menangani
perpindahan penduduk, bapak tua yang memiliki fisik kurus dan tidak ganteng
menanyai saya terkait apa yang bisa dia bantu (ya lagi-lagi, mungkin terkait
kepentingan saya). Saya serahkan berkas perpindahan penduduk kakak saya. dia
meminta saya untuk membuat surat keterangan di selembar kertas dengan materai
6000. Walau sampai sekarang sebenarnya saya tidak tahu apa fungsi materai
tersebut. Sepertinya saya masih sanggup, saya sempat bertanya pada bapak-bapak
pegawai kantor capil, apakah di kantor ini jual materai, agar mempermudah, biar
saya juga tidak ribet pergi lagi. Seorang bapak menjawab tidak ada, saya berlalu,
dan dengan sedikit tertawa dia bilang “tapi saya punya materai 6000 dek, kalau adek mau, ndak berapo??” dan mereka
saling tertawa, saya tidak menoleh sama sekali. Pegawai-pegawai sialan. Saya
berjalan kaki ke depan kantor, menyebrangi jalan. Dan untung warung yang menjual materai tidak
begitu jauh. Saya beli materai dan selembar kertas A4, dengan biaya Rp 7000,-.
Saya langsung tuliskan surat keterangan, setelah selesai saya kembali ke kantor
capil. Kau tahu apa yang terjadi, loket tiga yang menangani perpindahan
penduduk sudah tutup, tertempel tulisan ISTIRAHAT. Saya mau teriak
sejadi-jadinya. Tapi saya tahan. Saya diam, dan mencoba untuk tenang. Ini
artinya, saya harus menunggu sampai pukul 14.00 WIB atau lebih cepat, dan bisa
juga lebih lambat.
Saya sibukkan diri selama dua
jam, saya pergi mencetak foto, dan pergi ke rumah Lio, lumayan untuk
memuntahkan keluhan. Saya habiskan waktu dua jam untuk mengobrol, melawan waktu
dan membunuh lelahnya menunggu. Mungkin sorta ada benarnya, Negara ini terlalu kejam buat kita.
Pukul 13.45 WIB, saya pergi dari
rumah Lio, kembali menuju kantor capil yang payah itu. benar saja, pukul 14.00
WIB saya tiba, loket tiga belum di buka. Saya mau tanya, Jam istirahat PNS
sampai jam berapa? Ini penting, karena ada banyak orang sedang mengusahakan
banyak hal, dan waktunya harus terbuang
untuk sekedar menunggu. Dan ini sama
sekali tidak menyenangkan. Apakah Negara kita memang Negara yang payah? Wajar
saja kita masih susah untuk merdeka dan berkarya, kita terbiasa basa basi dan
bertele-tele, istirahat kita lebih panjang dari kerja. Budaya malas kita sudah
sampai berakar, dan menjadi turunan. Saya mau marah. Tapi, ah, saya sudah
capek, dan sangat lelah, menunggu itu membuat lelah, mengurusi surat-surat
pengantar itu sangat melelahkan, dan ditambah saya harus marah. Resikonya,
mereka bisa kerja lebih cepat atau tambah lebih lambat karena tidak suka
dikritik. Iya, satu hal lagi, kita memang sangat tidak terima atas kritikan.
Kita terbiasa dipuji dan memuji, basa basi paling keparat untuk menyenangkan
orang lain dan mempermudah kepentingan-kepentingan. Dan itu snagat palsu dan
tidak menyenangkan. Saya tida suka. Sungguh.
Saya ikut menunggu, diantara
orang-orang yang (mungkin) sudah menunggu lebih lama dari saya. Beberapa saat kemudian, Loket tiga di buka,
saya harus ikut antri. Dan mencoba menikmati. Bukankah setiap kejadian pasti
ada pelajaran, mungkin Tuhan sedang mengajari saya untuk sabar. tiba giliran
saya, saya kasih berkas perpindahan beserta surat pernyataan dengan materai.
Tapi yang menerima adalah bapak yang lain. bukan bapak yang menyuruh saya buat
surat pernyataan tadi,. Dia kembali bertanya terkait KTP yang tidak ada. Saya
kembali menjelaskan ulang, dia pergi bertanya ke dalam, dan muncul lagi.
Sepertinya tidak apa. Dia kembali bertanya beberapa informasi yang belum diisi.
Dan saya juga tidak tahu apa isinya. Setelah menunggu beberapa saat, bapak yang
pada akhirnya saya tahu namanya Andi itu memberi saya blangko pengambilan, kau
tahu kapan jadinya itu surat perpindahan?? 31 Maret 2015. Halooooo, bukankah “KALAU BISA SATU HARI KENAPA HARUS
SEMINGGU??” itu moto untuk siapa atau mungkin pak Andi ini tidak pernah
masuk ruangan pak Basir, jadi tidak tahu. Saya mencoba menawar percepatan. Dia
tidak menjawab. Dan kau tahu, seorang bapak dengan berkas yang diselipkan
amplop disuruh menunggu sebentar, dan itu sangat bajingan. Dihadapan saya yang
lelah ini, transaksi yang bajingan itu sungguh memuakkan. Pada akhirnya, mata
saya perih, kepala saya nyut-nyut. APA
SAYA TERLALU JADI PECUNDANG? APA SAYA HARUS JUGA BERTANYA, BERAPA BIAYANYA?
ATAU APAKAH SAYA JUGA HARUS JADI BAJINGAN? Oh, Negara yang payah.
Saya ambil blangko pengambilan
yang mencatat bahwa pada tanggal 31 Maret 2015 yang akan datang, saya harus
kembali ke kantor yang payah ini. dan sudahlah, toh saya tidak punya cukup uang
untuk menyuapi. Saya berjalan keluar untuk pulang, menghidupi motor dan menggas
motor sekencang-kencangnya. Saya menangis ternyata. Betapa Negara ini tidak adil.
Mugkin salah satu quote yang pernah
saya baca, “WARGA NEGARA INDONESIA ITU
KALAU KAU LAKI-LAKI, SEHAT, PINTAR, KAYA, JAWA, DAN ISLAM”. Saya tertawa
sambil meneriaki langit yang hari itu biru sekali. Saya sungguh lelah.
( #lampujalan , Mar/25 2015 )
Komentar
Posting Komentar