Tiba- tiba, Kita jadi Tukang Kutuk dan Puji

Pagi ini saya mau tertawa dan menangis sejadinya. iseng- iseng masuk ke grup pendukung salah satu calon, tepatnya calon nomor 2, yang kebetulan juga dukungan saya.

Tapi saya kasihan betul, ini bukan soal Siapa yang aka memenangkan kompetisi dadakan ini, tapi tentang Budaya komentar yang sempat dirumuska oleh Karlina Supeli dalam pidato kebudayaannya beberapa bula lalu.

tepat sekali, hati saya bercampur aduk. tiba- tiba kita jadi berasa jadi tuhan, dan yang paling pintar dalam rumusan. tiba-tiba kita jadi pengamat politik yang paling jitu dalam menyimpulkan, tiba- tiba kita jadi tukang kutuk dan puji dalam waktu bersamaan. tiba- tiba, kita jadi tukang sebar isu- isu yang mengerikan, tiba- tiba kita jadi tukang curhat yang berlebihan, tiba- tiba kita jadi tukang kritik tanpa perlu mengkaji aksara yang kita gunakan. tiba- tiba kita semua jadi tukang bela dan tukang marah secara bergantian. tiba- tiba kita semua jadi yang paling kreatif dan inofatif dalam mencipta cercaan dan pelecehan. tiba- tiba, iya, semuaya terasa tiba- tiba bagi saya.

ada baiknya, masing- masing kita belajar membaca, belajar menulis, dan belajar berhitung kembali mulai dari NOL. karena bahasa, angka dan kata- kata yang kita gunakan sudah tidak pada kaidah dan aturannya lagi, kita sudah kelewatan,kita sudah keluar batas, kita sudah berlebihan.

padahal, urusan memilih itu, urusan pribadi, dibilik suara juga kita sendiri. lantas apa yang paling penting hari ini? mengapa gampang sekali terpancing, mengapa gampang sekali marah, mengapa gampang sekali mengutuk.

dua orang yang tiba- tiba menjadi sumber kerusuhan yang sebenarnya tidak mereka lakukan itu tidak perlu pembelaan,mereka itu calon R1.
mereka tidak sedang ikut seleksi timnas, pemilihan kades, RT/RW, ataupun pemiliha ketua kelompok dalam diskusi.

mereka itu calon R1, calon pemegang kuasa atas Negara yang saya tahu, sama- sama kita cintai ini. mereka bukan orang- orang sembarangan yang tiba- tiba muncul dan jadi pesulap. mereka tidak sedang beradu mantera untuk bisa memenangkan kompetisi yang sengaja kita cipatakan.

mereka calon R1, calon bapak kita yang akan merangkul Indonesia, buka merangkul Jakrta, bukan hanya merangkul daerah- daerah terjangkau dan terlihat saja, mereka akan merangkul kebinekaan kita, keberagaman kita dan mereka akan jadi kepala atas setiap kebijakan- kebijakan yang semoga mensejahterakan masing- masing diri.

lantas, kenapa hari ini kita masih berasa jadi yang paling paham dan paling kenal betul? 
lantas kenapa kita masih jadi yang paling marah saat salah satu di antaranya dapa cercaan?
lantas kenapa kita yang paling mengutuki, saat salah satu di antaranya mendapat kritik?

Kepada kalian yang hari ini masih sibuk jadi pahlawan, mari berkaca. pemilihan umum ini bukan soal siapa yang layak duduk jadi kepala, tapi soal bagaiman Indonesia bisa lebih baik dari sebelumnya.

ini bukan soal golongan- golongan tertentu, agama- agama tertentu, suku- suku tertentu, ras- ras tertentu, tapi ini soal Indonesia. dimana siapapun dengan agama apapun, suku apapun, golongan- golongan apapun bisa hidup layak dan diterima.

karena berbicara Indonesia,  tidak lagi berbicara aku, kami mereka, tapi berbicara KITA 
 
( #lampujalan  Jun/12 2014 )

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aku Kembali

Surat pertama dalam perjalanan yang panjang

Kartu Ulang Tahun untuk Usia ke Sekian